A. ONTOLOGI
Ontologi
dalam bahasa inggris “ontology” berakar dari bahasa yunani “on” berarti
ada dan ontos berarti keberadaan sedangkan logos berarti pemikiran.
Menurut A.R lacey ontologi diartikan sebagai “central part of methaphisics” ( bagian central dari metafisika)[1]Read More >>
Ontology
merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan
batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik
berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah)
selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat
kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak
terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Ruang
lingkup garapan ontology itu sendiri meliputi fisika dan metafisika dan
metafisika masih menjadi perdebatan, terutama di kalangan filosuf
barat, yang kemudian dibatasi hanya pada obyek-obyek empiris. Maka ilmu hanya membahas daerah-daerah yang berada dalam jangkauan.
Dalam
uraian tentang definisi filsafat dijelaskan bahwa obyek filsafat ialah
segala sesuatu , meliputi kesemestaan. Scope filsafat yang amat luas dan tak terbatas obyeknya itu, perlu adanya pembidangan untuk identifikasi penyelidikan. Pembidangan atas sistematika filsafat yang pertama ialah Ontologi.
Ontologi
kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Metafisika ini disebut juga
sebagai prote-filosifia atau filsafat pertama. Sebelum manusia
menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu.
Manusia dalam antaraksinya dengan semesta raya, melahirkan
pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apakah sesungguhnya hakikat realita
yang ada ini. Apakah realita yang menampak ini suatu relita materi
saja. Ataukah ada sesuatu di balik realita itu, suatu “rahasia” alam .
apakah wujud wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan.
Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita
ini terbentuk atas satu unsur, dua unsur (monisme), ataukah lebih dari
dua unsur (dualisme), yakni serba banyak (pluralisme).[2]
Pertanyaan-pertanyaan
di atas adalah pertanyaan metafisis atau ontologis. Sesuatu realita
sebagai suatu perwujudan menampakkan diri sebagai satu “tubuh”, satu
eksistensi. Sesuatu itu endukung satu perwujudan, yakni keseluruhan
sifatnya. Dan yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya,
dengan perkataan lain, wujud atau adanya sesuatu adalah primer;
sedangkan sifat-sifat yang lain, seperti ukuranya, bentuknya, warnanya,
beratnya dan sebagainya adalah sekunder. Ini berarti pula eksistensi
suatu realita itu adalah fundamental atau essensial. Sedangkan
sifat-sifat lain adalah sesuatu yang accidental, suatu atribut saja.
Ontologi atau metafisika terutama bertolak atas penyelidikanya tentang
hakikat ada.[3]
Secara garis besar ontologi ada itu antara itu antara : ada mutlak, ada terbatas, ada umum dan ada khusus.
Lebih lanjut Braneld
menjelaskan bagaimana interpretasi tentang suatu realita itu dapat
bervariasi. Misalnya, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruangan
belajar kita. Tentu ada yang menjawab bahwa lantai itu bersifat datar,
padat tetapi halus dengan warna tertentu. Apakah bahanya , pastilah
lantai itu suatu subtansi dengan kualitas materi. Inilah yang dimaksud
oleh setiap orang bahwa lantai itu satu realita yang kongkrit.
Tetapi
bila hal yang sama diajukan pada seorang ahli ilmu alam, maka ia akan
menjawab : bahwa lantai itu terbentuk atas molekul-molekul, yang
terakhir ini terdiri dari atom-atom. Demikian pula atom-atom itu
terbentuk dari elektron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron. Dan
semua itu merupakan tenaga listrik. Jadi sesungguhnya lantai itu adalah
satu energi. Yakni tenaga listrik . dengan demikian apa yang dihayati
orang biasa sebagai realita dalam wujud lantai yang kongkrit itu, maka
ahli ilmu alam itu menghayatinya dalam konsep pengertianya sebagai
tenaga atau energi.
Dalam
pandangan yang lain, maka lantai tadi, adalah gelombang-gelombang atau
getaran-getaran cahaya yang menyentuh indera penglihatan. Melalui retina
mata kita getaran cahaya tadi diteruskan ke syaraf penglihatan sampai
ke pusat kesadaran. Dengan demikian wujud lantai itu tidaklah berdiri
sendiri sebagai realita eksternal plus reaksi-reaksi sistem susunan
syaraf kesadaran manusia, faktor internal.
Pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama di dalam pendidikan. Sebab,
anak bergaul dengan dunia lingkunganya dan mempunyai dorongan yang kuat
untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di masyarakat maupun di sekolah
selalu menghadapi realita, obyek pengalaman: benda mati, benda hidup,
sub-human dan human. Bagaimana asas-asas pandangan religious tentang
adanya makhluk-makhluk yang berakhir dengan kematian, bagimana kehidupan
dan kematian dapat di mengerti. Begitu pula realita semesta, dan
eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rokhani. Bahkan bagaimana
sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pencipta.
Memang
bukanlah kewajiban sekolah atau pendidikan semata-mata membimbing
pengertian anak-anak untuk memahami realita dunia yang nyata ini.
Kewajiban sekolah juga untuk membina kesadran tentang kebenaran yang
berpangkal atas realita itu tadi. Ini berarti realita itu sebagai tahap
pertama, sebgai stimulus untuk menyelami kebenaran. Anak-anak secara
sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis untuk mengerti kebenaran
itu. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan dalam lingkungan
hidupnya baik tentang adat istiadat, tentang tata sosial dan pola-pola
masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum. Daya pikir yang
kritis akan sangat membantu pengertian tersebut, kewajiban pendidikan
melalui latar belakang ontologis ini ialah membina daya pikir yang
tinggi dan kritis.
Scope ontologi ini kadang-kadang dibedakan antara metafisika dengan kosmologi. Untuk menyelidiki realita semesta ynag tak terbatas itu dianggap perlu ada semacam pengkhususan.
1. Metafisika diartikan dengan beberapa pengertian
a. Kadang-kadang metafisika diartikan dengan ontologi itu sendiri
b. Secara
etimologis metafisika berarti “di balik atau di belakng fisika “ ( meta
= belakang). Istilah ini terjadi secara kebetulan. Waktu para ahli
menyusun untuk membukukan karya aristoteles, mereka menempatkan bab
tentang filsafat sesuda bab tentang fisika (ilmun alam saja). Melainkan
memang hakikat yang diselidiki oleh metafisika ialah hakikat realita,
menjangkau sesuatu di balik realita, artinya berbeda dengan cara
mengerti realita dalam arti pengalaman sehari-hari, sebab metafisika
ingin mengerti sedalam-dalamnya.Metafisika ingin mengerti suatu
“otherword”, sedang pengetahuan biasa ingin mengerti suatu ‘this
wordly”. Metafisika juga mengandung pengertian menyelidiki hakikat
realita dalam arti realita, fakta, spiritual, maupun yang berubah-ubah
atau tetap, dan yang di balik realita.
2. Kosmologi
Kosmologi
memusatkan perhatianya kepada relita kosmos, yakni keseluruhan sistem
semesta raya,. Kosmologi meliputi baik realita yang khusus msupun yang
umum, yanguniversal. Jadi kodmologi terbatas pada realita yang lebih
nyata, dalam arti alam fisis yang material. Walaupun kosmologi tak
mungkin[4] merangkul alam semesta dalam arti menghayati secara indera, tetapi kosmologi menghayati realita semesta secara intelektual.
Implikasi
pandangan ontologi di dalam pendidikan ialah bahwa dunia pengalaman
manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan
isisnya dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari. Melainkan sebagai
suatu yang tak terbatas, realitas fisis, spiritual, yang tetap dan yang
berubah-ubah (dinamis). Juga hukum dan sistem kesemestaan yang
melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta, termasuk hukum dan
tertib yang menentukan kehidupan manusia.
Ontology
menurut Lois O. kattsoff yang dibagi menmjadi empat bagian yaitu:
ontology bersahaja adalah sesuatu dipandang sewajarnya dan apa adanya,
Ontologi Kuantitatif adalah sesuatu yang dipertanyakan mengenai tunggal
atau jamaknya, Ontologi Kualitatif adalah sesuatu yang berangkat dari
pertanyaan apa yang merupakan jenis pertanyaan itu, Ontologi Moderik
adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya,
keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka yang pada
akhirnya akan melahirkan ontolohi monistik atau idealisme.
Lorens
Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi
fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan
abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua
sesuatu yang sejenis. Abstraksi
metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua
realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi
metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens
Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian apriori dan pembuktian aposteriori. Dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1. Aliran
monoisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan
itu hanya satu, tidak mungkin dua, masing-masing b bebas berdiri
sendiri. Haruslah salah satunya sumber yang pokok dan domonan yang
menentukan perkembangan lain, aliran ini juga berpendapat bahwa yang ada
itu serba sepirit, ideal dan serba Roh yang kemudian dikelompokan
kedalam aliran Monoisme-idealisme. Paham ini terbagi ada dua:
a. Aliran
materialisme yang berpendapat bahwa sumber yang asal itu adalah materi
bukan juga rohani atau yang sering disebut naturalisme. Menurutnya zat
yang mati merupakan kenyataan satu-satunya fakta dan jiwa atau ruh
tidaklah merupakan kenyataan yang berdiri sendiri.
b. Aliran
Idealisme yang berpendapat serba cita atau sesuatu yang hadir dalam
jiwa yang dinamakan dengan Sepritualiseme, berarti serba ruih dan
menyatakan bahwa hakiakt benda adalah ruhani dan bersifat sepiritual
2. Aliran
dualisme, aliran ini menggabungkan dua hakikat antara dualisme dengan
materialisme, dikatakan bahwa alam wujud ini tyerdiri dari dua hakikat
sebagai sumber yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh,
jasad dan sepirit
3. Aliran
Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun dari banyak unsure
serta lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah Anaxsagoras,
Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk dari
empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.
4. Aliran
Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas
alternative yang positif. Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi
tentang realitas.
Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain
Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain
5. Aliran
Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan
Manusia mengetahui hakikat benda, baik materi meupun ruhani, hal ini
mirip dengan skeptisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan dalam
mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme lebih dari itu.Kattsoff banyak
memberikan term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada,
kenyataan, eksitensi, perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology
ilmu membatasi lingkup pengalaman keilmuannya yang hanya pada
daerah-daerah yang barbed dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek
pengalaman yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini
adalah merupakan konsistensi pada batas epistemology keilmuan. Ontology
keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek
ontology keilmuan.
Objek
telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika.
Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam
konteks filsafat ilmu.
Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal.
Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya
akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang
terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme,
tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens
Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi
fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan
abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua
sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum
yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh
ontologi adalah abstraksi metaphisik
Karakteristik ontologi yang di ungkapkan bagus antara lain[5]:
a) Ontologi adalah studi tentang arti ada dan berada, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri
b) Ontologi
adalah mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas
mungkin, dengan menggunakan katagori-katagori seperti: menjadi dan nyata
c) Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada yaitu yang satu yang absolute
d) Cabang filsafat yang mempelajari status realitas apakah nyata atau semu
B. EPISTEMOLOGI
Secara
etimologis epistemologi berakar dari bahasa yunani “episteme” yang
berarti ilmu pengetahuan, dan logos juga berarti pengetahuan jadi
epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan. [6]
Epistemologi
ialah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat,
batas, validitas dan hakikat pengetahuan. Dengan menyederhanakan batasan
di atas, brameld kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-muridnya.mendefinisikan epistemologi sebagai “ it
is epistoemology that gives the teacher the assurance that he is
conveying the truth to his student” epistemologi memberikan
Apakah
ada hukum-hukum ilmu pengetahuan yang memberikan pedoman kepada kita
untuk percaya atau tidak percaya tentang sesuatu. Bagaimana seharusnya
sikap kita untuk dapat mengerti kebenaran-kebenaran berupa
pendapat-pendapat, instuisi, kepercayaan, fakta-fakta, yang ada dalam
lingkungan kita.[7]
Menurut
J.A niels mulder epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
soal watak, batas-batas dan berlakunya ilmu pengetahuan
Menurut jacques veuger epustemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki
Menurut
abbas hamami mintarejo epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian terhadap
pengetahuan yang telah bterjadi,
.Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1. Hakikat itu ada dan nyata
2. Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikatitu.
3. Hakikat itu bisa dicapai, diketahui , dan dipahami.
4. Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu.
Akal
dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya,
dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila
manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita
bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin
hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan
kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa
meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian
dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa
menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran
kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana
adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati
kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan
kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang
sejarah manusia?
Persoalan-persoalan
terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni
persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat
itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan
hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu
pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan
bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti
benda-benda
tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya.
Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya
menjawab
dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun,
apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa
teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan
ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh
teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini
akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh
teropong. ayang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak
ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang
dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang
digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan
tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan
pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas
eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan
akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal,
masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia.
Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda
hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu
dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua
persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.
Pokok-pokok pembahasan epistemologi
1. Cakupan
pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum
atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu, istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a. Makna
leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup
segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan
juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para
malaikat,dan ilmu manusia.
b. Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam.
c. Makna
ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmuhudhûrî.Ilmu yang hanya dimaknakan
sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan denagn ilmu logika (mantik).
d. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini
e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu
ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian
dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
h. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
i. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yangbersifatempirik.
2. Sudut
pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat,
maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga
dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda
bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik
tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah
satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan
kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian
epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan
ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya
pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika.
Dan
ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia
terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan
akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang
perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam
epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan,
pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari
sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok
pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman
penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam
epistemologi.
Dengan
memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi
jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena
untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang
dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional
dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain,
untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi
di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
3. Hubungan Epistimologi dengan Ilmu-ilmu Lain
a). Hubungan epistimologi dengan ilmu logika
Ilmu
logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir
benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan
memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan
pembenaran.
Dengan
memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika
dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan
mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan
ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk
mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh
ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih
menjadi hal yang diragukan.
b) Hubungan epistimologi dengan filsafat
Pengertian
umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi),
realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam
pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum
tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan
mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat
dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan
mukadimah bagi filsafat.
c) Hubungan epistimologi dengan Teologi dan Tafsir
Ilmu
kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi
teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan
posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan
metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral
sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang
terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau
pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan
ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
4.UrgensiEpistimologi
Jika
kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu
lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus
lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta
kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang dimunculkan seputar
keyakinan agama dan dasar-dasar etika, fiqih, penafsiran, dan hak-hak
asasi manusia dimana sentral dari semua pembahasan tersebut berpijak
pada epistemologi.
Berkenaan
dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir
dan filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia
berkata “Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat
sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan
suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran
pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh. Muncul
suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut
memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan
tersebut terletak pada perbedaan
pandangan
dunianya (word view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi
berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan
menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi
menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan
bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita
bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena
pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada
masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat.
Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti
oleh ideologi.
Ideologi
seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat
teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa
suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar
pada teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya
bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan
epistemologi. “
Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme.
Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme.
Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologiatau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq)
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologiatau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq)
Apakah
ada hukum-hukum ilmu pengetahuan yang memberikan pedoman kepada kita
untuk percaya atau tidak percaya tentang sesuatu. Bagaimana seharusnya
sikap kita untuk dapat mengerti kebenaran-kebenaran berupa
pendapat-pendapat, instuisi, kepercayaan, fakta-fakta, yang ada dalam
lingkungan kita.
Misalnya : perkataan tahu berikut mengandung pengertian yang berbeda-beda, baik sumbernya , maupun validitasnya[8]:
a. Kau tak dapat meniru saya. Saya tahu siapa penipu dan siapa bukan penipu
b. Tentu saja saya tahu ia menangis, karena saya melihatnya.
c. Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan: bukankah konstitusi kita menyatakan demikian .
d. Kami tahu bahwa jembatan itu safe, karena baru saja kami melewatinya dengan aman.
Masing-masing
pernyataan di atas menyatakan wujud atau keadaan tahu, tapi
masing-masing contoh itu berdasarkan cara tahu dan alasan-alasan tahu
yang berbeda-beda. Manakah di antara tahu itu tadi yang dapat di
katagorikan sebagai knowledge.
Dalam
contoh a tahu di sini bedasarkan pertimbangan yang bersifat pribadi.
Apa yang dilihat dan di tafsirkan oleh seseorang sebagai penipu, tindak
kriminal, mungkin sama sekali tak di mengerti oleh pribadi orang lain.
Contoh
b satu kasus yang bersumber atas data observasi langsung, ia percaya
dan tahu apa yang ia sadari itu benar adanya, karena demikianlah
kesadaran pancainderanya menghayati realita itu.
Contoh
c berdasarkan atas status prestise wewenang siapa yang menyatakan. Juga
sumberyang berwujud dokumen (yaitu UUD) tak mengharuskan adanya
observasi langsung.
Contoh
d memberikan pengertian bahwa knowledge adalah produk
pengalaman-pengalaman yanjg teruji oleh keseluruhan penghayatan: bukan
hanya kesan indera saja.
Di
balik semua contoh itu – dan ada banyak contoh-contoh yang lain –
memberi pengetahuan kepada kita tentang bagaimana dan bila kita
mengetahui dalam hubunganya bagaimana dan bila kita tidak mengetahui.
Dengan perkataan lain, kita percaya sesuatu “kebenaran” setelah kita
memiliki ukuran, kriteria. Yakni kriteria epistemologi[9]
Semabtika
dan logika amat berperan dalam epistemologi, demikian pula
metode-metode berpikir seperti metode deduktif dan induktif.
Berdasarkan jenis cara mengetahui, dapat dinilai bahwa tingkat kepastian kebenaran yang diperoleh berbeda-beda[10]:
Pertama,
di tentukan oleh “kemampuan penginderaan “setiap orang. Sedangkan
kemampuan penginderaan tersebut di pengaruhi oleh posisi dan kepentingan
masing-masing terhadap objek.
Kedua,
perbedaan kebenaran juga di tentukan “kemampuan pikiran” yang berbeda
pada setiap objek. Secara internal bakat kecerdasan setiap subjek
berbeda-beda. Begitu pula secara eksternal pengaruh lingkungan setiap
objek juga berbeda baik kualitas maupun kuantitasnya.
A. Sejarah epistemologi dalam filsafat barat
Apabila
kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman
tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan
Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit
bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan
yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu
mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal
yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad
pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan
filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi
menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi
dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah renaisance dan descates mengalami perubahan baru.
1. Epistemologi di zaman yunani kuno
Berdasarkan
penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian
epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan
menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya,
iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang
merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid,
sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus
berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus
melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu
dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada
segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena
ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan
keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud
sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian
peneliti sejarah filsafat menganggap pemikiran sebagai skeptisisme. Pythagoras
berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur
eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan
Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam
pemikiran.
Gorgias
menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil
diketahui, kalaupun ia bisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates
ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi
pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian,
ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat
itu tidak relatif dan nisbi.
2. Epistemologi pada abad pertengahan
Inti
pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan
universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji
dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran
Plotinus membagi tiga tingkatan persepsi : 1.
Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian
(understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan
dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal
sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam
kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir dan tingkatan di atas akal adalah instuisi.
Augustine
(354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu
tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis
dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang
paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat
gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu,
karena objeknya senantiasa berubah tidak tergolong makrifat hakiki.
3. Epistemologi pada abad modern
Tidak
mudah menentukan batas peralihan yang jelas mengenai akhir zaman
pertengahan dan awal zaman modern. Karena Eropa waktu itu masih buta
huruf selain itu disebabkan perbedaan pandangan para ahli sejarah.
Sebagai sejarawan berpendapat bahwa zaman pertengahan berakhir di
taklukkan oleh turki usmani. Namun pada abad 14 menjadi akhir zaman
pertengahan yang di tandai dengan gerakan renaisans (kelahiran kembali)
Renaisans tidak lahir secara kebetulan tetapi ada pra kondisi yang mengawalinya, yaitu,
1. Gerakan
besar-besaran dalam penerjemahan ilmu-ilmu dalam filsafat islam ke
dalam bahasa latin sepanjang abad 13-14 (pasca perang salip)
2. Pasca penaklukan konstatinopel oleh turki usmani, terjadi migrasi para pendeta dan sarjana itali dan negara-negara lainya
3. Pendirian berbagai lembaga ilmiah seperti akademi florensia dan college defrance
4. Perang
salip kedua (1100-1300) yang terulang enam kali, tidak hanya menjadi
peperangan fisik tetapi menjadikan tentara eropa berasal dari berbagai
negara.[11]
Pada zaman modern inilah lahir metode-metode pengetahuan, yaitu:
a) Rasionalisme
Rene descartes (1595-1660)
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para
penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di
dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika
kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau
menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam
pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
b) Empirisme
Fransisco bacon
Empirisme
adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak
empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan
akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam
buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut
Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta
refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal
sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada
pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan
sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak
dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal
yang factual.
c) Positifisme
Auguste comte (1798-1857)
Menurut
comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung pada tiga tahap yakni,
teologis, metafisis dan positif. Comte beranggapan bahwa sosiologi
puncak ilmu pemgetahuan[12]
d) Fenomenalisme
Bapak
Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri
merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam
bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang
barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang
sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang
gejala (Phenomenon).
Bagi
Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua
pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk
sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal
memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta
pengalaman.
e) Intusionisme
Menurut
Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung
dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara
langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah
satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson
ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping
pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang
dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping
pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar
dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi
dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi
maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya
diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang
biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme –
setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa
pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari
pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh
analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera
hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan
oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak
pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya
intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang
senyatanya.
C. Aksiologi
Secara
etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang
berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah
teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya
kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives,
yakni universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang
teratur.
Bidang
filsafat yang ketiga ialah aksiologi, suatu bidang yang menyelidiki
nilai-nilai (value). Brameld membedakan tiga bagian di dalam axiologi
ini sebagai berikut:
1. Moral condact, tindak moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni ethica.
2. Estthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkana esthetika.
3. Socio-political life, kehidupan sosio politik.
Masalah-masalah
aksiologi di atas menjelaskan dengan kriteria atau prinsip tertentu
apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia. Apakah yang di
maksud indah di dalam seni.demikian pula apakah yang benar dan
diinginkan di dalam organisasi sosial kemasyarakatan-kenegaraan.[13]
Nilai
dan implikasi axiologi di dalam pendidikan ialah “to examine and
integrate these values as they enter into the lives of people trough the
channel of the schools”
“pendidikan
menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan
manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak”
Untuk
menjelaskan apakah baik (good), benar (right)buruk dan jahat (bad and
evil) bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi baik dan benar, indah dan
bernilai, dalam arti mendalam untuk membina kepribadian yang ideal,
sungguh suatu tugas utama pendidikan.
Bagaimana pemahaman seseorang tentang pengertian baik dari percakapan seorang anak sebagai berikut:
a. Herman, ini es cream baik.
b. Baiklah ibu, saya akan selalu baik dan taat pada ibu.
c. Ini obat, baik, yang telah menyembuhkan saya dalam waktu amat cepat.
d. Nak, bukankah ini lagu baik?
e. Apa yang ayah baca itu?
O, ini uraian tentang “masyarakat yang baik”.
Contoh
percakapan diatas memberikan gambaran tentang esensi baik yang
bervariasi dalam hubungan dengan bermacam-macam nilai. Yang pertama,
berhubungan dengan pandangan filsafat hedonisme, yakni suatu teori yang
mengajarkan bahwa semua itu baik jika menyenagkan dan memuaskan.
Contoh
kedua, sesuatu kebaikan dikaitkan ukuran dan kewibawaan seseorang
(ibu). Ukuran baik seperti di dalam rumah tangga di atas, dapat juga di
jabarkan dalam scope negara, dimana warga negara menganggap kebaikan itu
ialah ketaatan kepada raja atau kepala negara.
Contoh
ketiga terkandung pengertian bahwa sesuatu yang baik tidaklah selamanya
di dalam dan untuk sesuatu itu sendiri. Dapat juga sesuatu yang baik
itu sebagai intrumental good( kebaikan instrumental), yaitu yang
merupakan alat untuk tujuan yang diingini. Obat yang baik demi
kesehatan.
“Bukankah ini lagu baik?” di sini terkandung makna baik dalam arti rangkap:
a. Lagu baik adalah suatu immediate good (kebaikan) langsung sebagai tujuan dan bukan sebagai alat untuk yang lain.
b. Lagu baik sebagai esthetic good (nilai estetika) suatu jenis cita-rasa-seni, atau selera seni.[14]
Pernyataan
dalam contoh terakhir, ialah tentang nilai baik sosial. Di sini baik
bukan menurut ukuran individual , melainkan baik menurut orang banyak,
seluruh warga masyarakat.
Dengan
sekedar contoh di atas, kita maksudkan agar memahamipengertian baik
haruslah secara komprehensif. Axiologi dalam hal ini meliputi banyak
segi, terutama segi ethis dan nilai-nilai sosial. Di dalam masyarakat
kita nilai-nilai itu sedenikian terintegrasi dan berinteraksi.
Nilai-nilai di dalam rumah tangga, tetangga, kota, negara adalah
nilai-nilai yang tak mungkin dunia pendidikan mengabaikanya.
Kepribadian
yang baik bahkan adalah tujuan pendidikan , tetapi bagaimana menetapkan
sesuatu yang baik secara tepat dan dapat di terima semua orang, dan
jika mungkin di segala tempat dan waktu, perlu kejelasan, verivikasi.
Teori tentang nilai dapat di bagi menjadi dua, yaitu:
a.Etika
etika
berasal dari kata Yunani ethos = watak, sedang moral berasal dari kata
latin mos (tunggal), mores (jamak) = kebiasaan atau kesusilaan. Dalam
sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat
berpengaruh sejak jaman Sokrates(470-399 SM). Etika membahas baik dan
buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta
sekaligus menyoroti kewajiban-kewajibanmanusia.
b.Estetika
Estetika
sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan. Secara
etimologi estetika bersal dari kata Yunani aisthetika = hal-hal yang
dicerap dengan indra atau aisthesis = cerapan indra. Kalau etika
digambarkan sebai teori tentang baik dan jahat, maka estetika
digambarkan sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan.
Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman Alexander
Gottlieb Baumgarten lewat karyanya Reflections on Poetry. Baumgarten
mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikan sebagai ilmu
pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul
aestheticaacromatika(1750-1758).
KESEMPULAN
1. Ontologi dalam
bahasa inggris “ontology” berakar dari bahasa yunani “on” berarti ada
dan ontos berarti keberadaan sedangkan logos berarti pemikiran. Menurut A.R lacey ontologi diartikan sebagai “central part of methaphisics” ( bagian central dari metafisika)
Ontology
merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan
batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik
berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah)
selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat
kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak
terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
2. Epistemologi
Secara etimologis epistemologi berakar dari bahasa yunani “episteme”
yang berarti ilmu pengetahuan, dan logos juga berarti pengetahuan jadi
epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan.
Epistemologi
ialah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat,
batas, validitas dan hakikat pengetahuan. Dengan menyederhanakan batasan
di atas, brameld kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada murid-muridnya.mendefinisikan epistemologi sebagai “ it
is epistoemology that gives the teacher the assurance that he is
conveying the truth to his student” epistemologi memberikan
Pada tahapanya,dibagi dalam 3 taha,yaitu:
a. Zaman yunani kuno
b. Zaman pertengahan
c. Zaman modern
3. Aksiologi Secara
etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang
berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah
teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya
kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives.
Nilai-nilanya terbagi dalm dua hal yaitu:
a. Etika
b. Estetika
DAFTAR PUSTAKA
1. NoorSyam, Muhammad. Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan. Usaha Nasional. Surabaya-Indonesia,1986.
2. Suparlan, Suhartona. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta Indonesia, 2008.
3. Hady ,Samsul.Filsafat Ilmu.Ar-Ruzz Media.Jogjakarta-Indonesia,2005.
4. Mehdi Nakosten, History of Islamic Origin of Wastern Education.Risalah Hati.Surabaya,1996.
[1] Dr. H. M. Samsul hady, M. Ag. Filsafat ilmu. Hal:111
[2] Mohammad Noor Syam. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat. hal: 28-29
[3] Ibid, hal:29
[4] Ibid hal: 31
[5] Dr. H. M. Samsul hady, M, Ag. Filsafat ilmu. Hal:112
[6] Ibid hal 117
[7] Mohammad Noor Syam. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat. Hal:33
[8] Mohammad Noor Syam. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat. Hal 33-34
[9] Ibd, hal: 34
[10] Dr. H.M. Samsul Hady, M, Ag. Filsafat ilmu. Hal: 118
[11]
Mehdi nakosteen, histori of islami origins of western educasion A. D.
800-1350 white introduction to medieval muslim education. Hal:271
[12] Betrand russell, hal:956
[13] Mohammad Noor Syam, filsafat pendidikan, hal: 34-35
[14] Ibid, hal: 36
boleh di kopas gan ??
BalasHapusbuat reverensi tugas :)
Silahkan, semoga bermanfaat . . .
Hapusmakasih gan !!!
HapusSama-sama . . .
Hapus