Rabu, 26 Oktober 2011

Ontologi,Epistimologi, dan Axiologi (Filsafat Ilmu)


A.     ONTOLOGI

Ontologi dalam bahasa inggris “ontology” berakar dari bahasa yunani “on” berarti ada dan ontos berarti keberadaan sedangkan logos berarti pemikiran. Menurut A.R lacey ontologi diartikan sebagai “central part of methaphisics” ( bagian central dari metafisika)[1]Read More >>
Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Ruang lingkup garapan ontology itu sendiri meliputi fisika dan metafisika dan metafisika masih menjadi perdebatan, terutama di kalangan filosuf barat, yang kemudian dibatasi hanya pada obyek-obyek empiris. Maka ilmu hanya membahas daerah-daerah yang berada dalam jangkauan.
Dalam uraian tentang definisi filsafat dijelaskan bahwa obyek filsafat ialah segala sesuatu , meliputi kesemestaan. Scope filsafat yang amat luas  dan tak terbatas obyeknya itu, perlu adanya pembidangan untuk identifikasi penyelidikan.  Pembidangan atas sistematika filsafat yang pertama ialah Ontologi.
Ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Metafisika ini disebut juga sebagai prote-filosifia atau filsafat pertama. Sebelum manusia menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Manusia dalam antaraksinya dengan semesta raya, melahirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini. Apakah realita yang menampak ini suatu relita  materi saja. Ataukah ada sesuatu di balik realita itu, suatu “rahasia” alam . apakah wujud wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk atas satu unsur, dua unsur (monisme), ataukah lebih dari dua unsur (dualisme), yakni serba banyak (pluralisme).[2]
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan metafisis atau ontologis. Sesuatu realita sebagai suatu perwujudan menampakkan diri sebagai satu “tubuh”, satu eksistensi. Sesuatu itu endukung satu perwujudan, yakni keseluruhan sifatnya. Dan yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya, dengan perkataan lain, wujud atau adanya sesuatu adalah primer; sedangkan sifat-sifat yang lain, seperti ukuranya, bentuknya, warnanya, beratnya dan sebagainya adalah sekunder. Ini berarti pula eksistensi suatu realita itu adalah fundamental atau essensial. Sedangkan sifat-sifat lain adalah sesuatu yang accidental, suatu atribut saja. Ontologi atau metafisika terutama bertolak atas penyelidikanya tentang hakikat ada.[3]
Secara garis besar ontologi ada itu antara itu antara : ada mutlak, ada terbatas, ada umum dan ada khusus.
Lebih lanjut Braneld menjelaskan bagaimana interpretasi tentang suatu realita itu dapat bervariasi. Misalnya, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruangan belajar kita. Tentu ada yang menjawab bahwa lantai itu bersifat datar, padat tetapi halus dengan warna tertentu. Apakah bahanya , pastilah lantai itu suatu subtansi dengan kualitas materi. Inilah yang dimaksud oleh setiap orang bahwa lantai itu satu realita yang kongkrit.
Tetapi bila hal yang sama diajukan pada seorang ahli ilmu alam, maka ia akan menjawab : bahwa lantai itu terbentuk atas molekul-molekul, yang terakhir ini terdiri dari atom-atom. Demikian pula atom-atom itu terbentuk dari elektron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron. Dan semua itu merupakan tenaga listrik. Jadi sesungguhnya lantai itu adalah satu energi. Yakni tenaga listrik . dengan demikian apa yang dihayati orang biasa sebagai realita dalam wujud lantai yang kongkrit itu, maka ahli ilmu alam itu menghayatinya dalam konsep pengertianya sebagai tenaga atau energi.
Dalam pandangan yang lain, maka lantai tadi, adalah gelombang-gelombang atau getaran-getaran cahaya yang menyentuh indera penglihatan. Melalui retina mata kita getaran cahaya tadi diteruskan ke syaraf penglihatan sampai ke pusat kesadaran. Dengan demikian wujud lantai itu tidaklah berdiri sendiri sebagai realita eksternal plus reaksi-reaksi sistem susunan syaraf kesadaran manusia, faktor internal.
Pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama di dalam pendidikan.  Sebab, anak bergaul dengan dunia lingkunganya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita, obyek pengalaman: benda mati, benda hidup, sub-human dan human. Bagaimana asas-asas pandangan religious tentang adanya makhluk-makhluk yang berakhir dengan kematian, bagimana kehidupan dan kematian dapat di mengerti. Begitu pula realita semesta, dan eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rokhani. Bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pencipta.
Memang bukanlah kewajiban sekolah atau pendidikan semata-mata membimbing pengertian anak-anak untuk memahami realita dunia yang nyata ini. Kewajiban sekolah juga untuk membina kesadran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita itu tadi. Ini berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebgai stimulus untuk menyelami kebenaran. Anak-anak secara sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis untuk mengerti kebenaran itu. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan dalam lingkungan hidupnya baik tentang adat istiadat, tentang tata sosial dan pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum. Daya pikir yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut, kewajiban pendidikan melalui latar belakang ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis.
Scope ontologi ini kadang-kadang dibedakan antara metafisika  dengan kosmologi. Untuk menyelidiki realita semesta ynag tak terbatas itu dianggap perlu ada semacam pengkhususan.
1.      Metafisika diartikan dengan beberapa pengertian
a.       Kadang-kadang metafisika diartikan dengan ontologi itu sendiri
b.      Secara etimologis metafisika berarti “di balik atau di belakng fisika “ ( meta = belakang). Istilah ini terjadi secara kebetulan. Waktu para ahli menyusun untuk membukukan karya aristoteles, mereka menempatkan bab tentang filsafat sesuda bab tentang fisika (ilmun alam saja). Melainkan memang hakikat yang diselidiki oleh metafisika ialah hakikat realita, menjangkau sesuatu di balik realita, artinya berbeda dengan cara mengerti realita dalam arti pengalaman sehari-hari, sebab metafisika ingin mengerti sedalam-dalamnya.Metafisika ingin mengerti suatu “otherword”, sedang pengetahuan biasa ingin mengerti suatu ‘this wordly”. Metafisika juga mengandung pengertian menyelidiki hakikat realita dalam arti realita, fakta, spiritual, maupun yang berubah-ubah atau tetap, dan yang di balik realita.
2.      Kosmologi
Kosmologi memusatkan perhatianya kepada relita kosmos, yakni keseluruhan sistem semesta raya,. Kosmologi meliputi baik realita yang khusus msupun yang umum, yanguniversal. Jadi kodmologi terbatas pada realita yang lebih nyata, dalam arti alam fisis yang material. Walaupun kosmologi tak mungkin[4] merangkul alam semesta dalam arti menghayati secara indera, tetapi kosmologi menghayati realita semesta secara intelektual.
Implikasi pandangan ontologi di dalam pendidikan ialah bahwa dunia pengalaman manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isisnya dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari. Melainkan sebagai suatu yang tak terbatas, realitas fisis, spiritual, yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis). Juga hukum dan sistem kesemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta, termasuk hukum dan tertib yang menentukan kehidupan manusia.
Ontology menurut Lois O. kattsoff yang dibagi menmjadi empat bagian yaitu: ontology bersahaja adalah sesuatu dipandang sewajarnya dan apa adanya, Ontologi Kuantitatif adalah sesuatu yang dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya, Ontologi Kualitatif adalah sesuatu yang berangkat dari pertanyaan apa yang merupakan jenis pertanyaan itu, Ontologi Moderik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya, keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka yang pada akhirnya akan melahirkan ontolohi monistik atau idealisme.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian apriori dan pembuktian aposteriori. Dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1.       Aliran monoisme, berpendapat bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu, tidak mungkin dua, masing-masing b bebas berdiri sendiri. Haruslah salah satunya sumber yang pokok dan domonan yang menentukan perkembangan lain, aliran ini juga berpendapat bahwa yang ada itu serba sepirit, ideal dan serba Roh yang kemudian dikelompokan kedalam aliran ­Monoisme-idealisme. Paham ini terbagi ada dua:
a.       Aliran materialisme yang berpendapat bahwa sumber yang asal itu adalah materi bukan juga rohani atau yang sering disebut naturalisme. Menurutnya zat yang mati merupakan kenyataan satu-satunya fakta dan jiwa atau ruh tidaklah merupakan kenyataan yang berdiri sendiri.
b.      Aliran Idealisme yang berpendapat serba cita atau sesuatu yang hadir dalam jiwa yang dinamakan dengan Sepritualiseme, berarti serba ruih dan menyatakan bahwa hakiakt benda adalah ruhani dan bersifat sepiritual
2.      Aliran dualisme, aliran ini menggabungkan dua hakikat antara dualisme dengan materialisme, dikatakan bahwa alam wujud ini tyerdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan sepirit

3.      Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun dari banyak unsure serta lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk dari empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.

4.      Aliran Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas alternative yang positif. Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas.
Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain

5.      Aliran Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan Manusia mengetahui hakikat benda, baik materi meupun ruhani, hal ini mirip dengan skeptisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan dalam mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme lebih dari itu.Kattsoff banyak memberikan term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada, kenyataan, eksitensi, perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu membatasi lingkup pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang barbed dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada batas epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
 Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
1.     Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.      Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik
            Karakteristik ontologi yang di ungkapkan bagus antara lain[5]:
a)      Ontologi adalah studi tentang arti ada dan berada, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri
b)      Ontologi adalah mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan katagori-katagori seperti: menjadi dan nyata
c)      Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada yaitu yang satu yang absolute
d)      Cabang filsafat yang mempelajari status realitas apakah nyata atau semu 


B.     EPISTEMOLOGI
Secara etimologis epistemologi berakar dari bahasa yunani “episteme” yang berarti ilmu pengetahuan, dan logos juga berarti pengetahuan jadi epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan. [6]
Epistemologi ialah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan hakikat pengetahuan. Dengan menyederhanakan batasan di atas, brameld kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.mendefinisikan epistemologi sebagai “ it is epistoemology that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student” epistemologi  memberikan
Apakah ada hukum-hukum ilmu pengetahuan yang memberikan pedoman kepada kita untuk percaya atau tidak percaya tentang sesuatu. Bagaimana seharusnya sikap kita untuk dapat mengerti kebenaran-kebenaran berupa pendapat-pendapat, instuisi, kepercayaan, fakta-fakta, yang ada dalam lingkungan kita.[7]
Menurut J.A niels mulder epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari soal watak, batas-batas dan berlakunya ilmu pengetahuan
Menurut jacques veuger epustemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki
Menurut abbas hamami mintarejo epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian terhadap pengetahuan yang telah bterjadi,
.Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.          Hakikat itu ada dan nyata
2.          Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikatitu.
3.          Hakikat itu bisa dicapai, diketahui , dan dipahami.
4.          Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu.

Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?
Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti
benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya
menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. ayang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.


Pokok-pokok pembahasan epistemologi
1.      Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu, istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat,dan ilmu manusia.
b.      Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam.
c.       Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmuhudhûrî.Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan denagn ilmu logika (mantik).
d.      Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini
e.       Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f.        Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g.       Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
h.       Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
i.         Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yangbersifatempirik.

2.      Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika.
Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
3. Hubungan Epistimologi dengan Ilmu-ilmu Lain
a). Hubungan epistimologi dengan ilmu logika
Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran.
Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.
b) Hubungan epistimologi dengan filsafat
Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.
c) Hubungan epistimologi dengan Teologi dan Tafsir
Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.
4.UrgensiEpistimologi
Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika, fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.
Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada perbedaan
pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula yang akan diikuti oleh ideologi.
Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi. “
Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme.
Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologiatau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq
)

Apakah ada hukum-hukum ilmu pengetahuan yang memberikan pedoman kepada kita untuk percaya atau tidak percaya tentang sesuatu. Bagaimana seharusnya sikap kita untuk dapat mengerti kebenaran-kebenaran berupa pendapat-pendapat, instuisi, kepercayaan, fakta-fakta, yang ada dalam lingkungan kita.
Misalnya : perkataan tahu berikut mengandung pengertian yang berbeda-beda, baik sumbernya , maupun validitasnya[8]:
a.       Kau tak dapat meniru saya. Saya tahu siapa penipu dan siapa bukan penipu
b.      Tentu saja saya tahu ia menangis, karena saya melihatnya.
c.       Percayalah, saya tahu apa yang saya bicarakan: bukankah konstitusi kita menyatakan demikian .
d.      Kami tahu bahwa jembatan itu safe, karena  baru saja kami melewatinya dengan aman.
Masing-masing pernyataan di atas menyatakan wujud atau keadaan tahu, tapi masing-masing contoh itu berdasarkan cara tahu dan alasan-alasan tahu yang berbeda-beda. Manakah di antara tahu itu tadi yang dapat di katagorikan sebagai knowledge.
      Dalam contoh a tahu di sini bedasarkan pertimbangan yang bersifat pribadi. Apa yang dilihat dan di tafsirkan oleh seseorang sebagai penipu, tindak kriminal, mungkin sama sekali tak di mengerti oleh pribadi orang lain.
      Contoh b satu kasus yang bersumber atas data observasi langsung, ia percaya dan tahu apa yang ia sadari itu benar adanya, karena demikianlah kesadaran pancainderanya menghayati realita itu.
      Contoh c berdasarkan atas status prestise wewenang siapa yang menyatakan. Juga sumberyang berwujud dokumen (yaitu UUD) tak mengharuskan adanya observasi langsung.
      Contoh d memberikan pengertian bahwa knowledge adalah produk pengalaman-pengalaman yanjg teruji oleh keseluruhan penghayatan: bukan hanya kesan indera saja.
      Di balik semua contoh itu – dan ada banyak contoh-contoh yang lain – memberi pengetahuan kepada kita tentang bagaimana dan bila kita mengetahui dalam hubunganya bagaimana dan bila kita tidak mengetahui. Dengan perkataan lain, kita percaya sesuatu “kebenaran” setelah kita memiliki ukuran, kriteria. Yakni kriteria epistemologi[9]
      Semabtika dan logika amat berperan dalam epistemologi, demikian pula metode-metode berpikir seperti metode deduktif dan induktif.
Berdasarkan jenis cara mengetahui, dapat dinilai bahwa tingkat kepastian kebenaran yang diperoleh berbeda-beda[10]:
Pertama, di tentukan oleh “kemampuan penginderaan “setiap orang. Sedangkan kemampuan penginderaan tersebut di pengaruhi oleh posisi dan kepentingan masing-masing terhadap objek.
Kedua, perbedaan kebenaran juga di tentukan “kemampuan pikiran” yang berbeda pada setiap objek. Secara internal bakat kecerdasan setiap subjek berbeda-beda. Begitu pula secara eksternal pengaruh lingkungan setiap objek juga berbeda baik kualitas maupun kuantitasnya.

A.     Sejarah epistemologi dalam filsafat barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah renaisance dan descates mengalami perubahan baru.
1.      Epistemologi di zaman yunani kuno

Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.

Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikiran sebagai skeptisisme. Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalaupun ia bisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.


2.      Epistemologi pada abad pertengahan
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran
Plotinus membagi tiga tingkatan persepsi : 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir dan tingkatan di atas akal adalah instuisi.
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah tidak tergolong makrifat hakiki.
3.      Epistemologi pada abad modern
Tidak mudah menentukan batas peralihan yang jelas mengenai akhir zaman pertengahan dan awal zaman modern. Karena Eropa waktu itu masih buta huruf selain itu disebabkan perbedaan pandangan para ahli sejarah. Sebagai sejarawan berpendapat bahwa zaman pertengahan berakhir di taklukkan oleh turki usmani. Namun pada abad 14 menjadi akhir zaman pertengahan yang di tandai dengan gerakan renaisans (kelahiran kembali)
Renaisans tidak lahir secara kebetulan tetapi ada pra kondisi yang mengawalinya, yaitu,
1.      Gerakan besar-besaran dalam penerjemahan ilmu-ilmu dalam filsafat islam ke dalam bahasa latin sepanjang abad 13-14 (pasca perang salip)
2.      Pasca penaklukan konstatinopel oleh turki usmani, terjadi migrasi para pendeta dan sarjana itali dan negara-negara lainya
3.      Pendirian berbagai lembaga ilmiah seperti akademi florensia dan college defrance
4.      Perang salip kedua (1100-1300) yang terulang enam kali, tidak hanya menjadi peperangan fisik tetapi menjadikan tentara eropa berasal dari berbagai negara.[11]
Pada zaman modern inilah lahir metode-metode pengetahuan, yaitu:
a)      Rasionalisme
Rene descartes (1595-1660)
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

b)      Empirisme
Fransisco bacon
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
c)      Positifisme
Auguste comte (1798-1857)
Menurut comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung pada tiga tahap yakni, teologis, metafisis dan positif. Comte beranggapan bahwa sosiologi puncak ilmu pemgetahuan[12]
d)      Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
 
e)      Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.

C.     Aksiologi

Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur.
Bidang filsafat yang ketiga ialah aksiologi, suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Brameld membedakan tiga bagian di dalam axiologi ini sebagai berikut:
1.      Moral condact, tindak moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni ethica.
2.      Estthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkana esthetika.
3.      Socio-political life, kehidupan sosio politik.
Masalah-masalah aksiologi di atas menjelaskan dengan kriteria atau prinsip tertentu apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia. Apakah yang di maksud indah di dalam seni.demikian pula apakah yang benar dan diinginkan di dalam organisasi sosial kemasyarakatan-kenegaraan.[13]
Nilai dan implikasi axiologi di dalam pendidikan ialah “to examine and integrate these values as they enter into the lives of people trough the channel of the schools”
“pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak”
Untuk menjelaskan apakah baik (good), benar (right)buruk dan jahat (bad and evil) bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi baik dan benar, indah dan bernilai, dalam arti mendalam untuk membina kepribadian yang ideal, sungguh suatu tugas utama pendidikan.
Bagaimana pemahaman seseorang tentang pengertian baik dari percakapan seorang anak sebagai berikut:
a.       Herman, ini es cream baik.
b.      Baiklah ibu, saya akan selalu baik dan taat pada ibu.
c.       Ini obat, baik, yang telah menyembuhkan saya dalam waktu amat cepat.
d.      Nak, bukankah ini lagu baik?
e.       Apa yang ayah baca itu?
O, ini uraian tentang “masyarakat yang baik”.
Contoh percakapan diatas memberikan gambaran tentang esensi baik yang bervariasi dalam hubungan dengan bermacam-macam nilai. Yang pertama, berhubungan dengan pandangan filsafat hedonisme, yakni suatu teori yang mengajarkan bahwa semua itu baik jika menyenagkan dan memuaskan.
Contoh kedua, sesuatu kebaikan dikaitkan ukuran dan kewibawaan seseorang (ibu). Ukuran baik seperti di dalam rumah tangga di atas, dapat juga di jabarkan dalam scope negara, dimana warga negara menganggap kebaikan itu ialah ketaatan kepada raja atau kepala negara.
Contoh ketiga terkandung pengertian bahwa sesuatu yang baik tidaklah selamanya di dalam dan untuk sesuatu itu sendiri. Dapat juga sesuatu yang baik itu sebagai intrumental good( kebaikan instrumental), yaitu yang merupakan alat untuk tujuan yang diingini. Obat yang baik demi kesehatan.
“Bukankah ini lagu baik?” di sini terkandung makna baik dalam arti rangkap:
a.       Lagu baik adalah suatu immediate good (kebaikan) langsung sebagai tujuan dan bukan sebagai alat untuk yang lain.
b.      Lagu baik sebagai esthetic good (nilai estetika) suatu jenis cita-rasa-seni, atau selera seni.[14]

Pernyataan dalam contoh terakhir, ialah tentang nilai baik sosial. Di sini baik bukan menurut ukuran individual , melainkan baik menurut orang banyak, seluruh warga masyarakat.

Dengan sekedar contoh di atas, kita maksudkan agar memahamipengertian baik haruslah secara komprehensif. Axiologi dalam hal ini meliputi banyak segi, terutama segi ethis dan nilai-nilai sosial. Di dalam masyarakat kita nilai-nilai itu sedenikian terintegrasi dan berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin dunia pendidikan mengabaikanya.
Kepribadian yang baik bahkan adalah tujuan pendidikan , tetapi bagaimana menetapkan sesuatu yang baik secara tepat dan dapat di terima semua orang, dan jika mungkin di segala tempat dan waktu, perlu kejelasan, verivikasi.
Teori tentang nilai dapat di bagi menjadi dua, yaitu:
a.Etika

etika berasal dari kata Yunani ethos = watak, sedang moral berasal dari kata latin mos (tunggal), mores (jamak) = kebiasaan atau kesusilaan. Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak jaman Sokrates(470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajibanmanusia.
b.Estetika
Estetika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan. Secara etimologi estetika bersal dari kata Yunani aisthetika = hal-hal yang dicerap dengan indra atau aisthesis = cerapan indra. Kalau etika digambarkan sebai teori tentang baik dan jahat, maka estetika digambarkan sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten lewat karyanya Reflections on Poetry. Baumgarten mengembangkan filsafat estetika yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya yang berjudul aestheticaacromatika(1750-1758).


KESEMPULAN
1.      Ontologi dalam bahasa inggris “ontology” berakar dari bahasa yunani “on” berarti ada dan ontos berarti keberadaan sedangkan logos berarti pemikiran. Menurut A.R lacey ontologi diartikan sebagai “central part of methaphisics” ( bagian central dari metafisika)
Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
2.      Epistemologi Secara etimologis epistemologi berakar dari bahasa yunani “episteme” yang berarti ilmu pengetahuan, dan logos juga berarti pengetahuan jadi epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan.
Epistemologi ialah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan hakikat pengetahuan. Dengan menyederhanakan batasan di atas, brameld kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.mendefinisikan epistemologi sebagai “ it is epistoemology that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student” epistemologi  memberikan
Pada tahapanya,dibagi dalam 3 taha,yaitu:
a.       Zaman yunani kuno
b.      Zaman pertengahan
c.       Zaman modern
3.      Aksiologi Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives.
Nilai-nilanya terbagi dalm dua hal yaitu:

a.       Etika
b.      Estetika

           

DAFTAR PUSTAKA
1.      NoorSyam, Muhammad. Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan. Usaha Nasional. Surabaya-Indonesia,1986.
2.      Suparlan, Suhartona. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta Indonesia, 2008.
3.       Hady ,Samsul.Filsafat Ilmu.Ar-Ruzz  Media.Jogjakarta-Indonesia,2005.
4.      Mehdi Nakosten, History of Islamic Origin of Wastern Education.Risalah Hati.Surabaya,1996.








           



[1] Dr. H. M. Samsul hady, M. Ag. Filsafat ilmu. Hal:111
[2] Mohammad Noor Syam. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat. hal: 28-29
[3] Ibid, hal:29
[4] Ibid hal: 31
[5] Dr. H. M. Samsul hady, M, Ag. Filsafat ilmu. Hal:112
[6] Ibid hal 117
[7] Mohammad Noor Syam. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat. Hal:33
[8] Mohammad Noor Syam. Filsafat pendidikan dan dasar filsafat. Hal 33-34
[9] Ibd, hal: 34
[10] Dr. H.M. Samsul Hady, M, Ag. Filsafat ilmu. Hal: 118
[11] Mehdi nakosteen, histori of islami origins of western educasion A. D. 800-1350 white introduction to medieval muslim education. Hal:271
[12] Betrand russell, hal:956
[13] Mohammad Noor Syam, filsafat pendidikan, hal: 34-35
[14] Ibid, hal: 36

4 komentar: