Sabtu, 10 Maret 2012

teori sosiologi


MAKALAH TEORI SOSIOLOGI
read more . . .
TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosiologi
DosenPengampu: Dr. H. Zulfi Mubaraq,M.Ag

Kelas: IPS-C
Oleh Kelompok: VI
Mucksin                                  (10130067)
Fatin Furaidah                         (10130079)






JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012

 

DAFTAR ISI

A. Pendahuluan.......................................................................................................1
1. LatarBelakangMasalah............................................................................2
2. RumusanMasalah....................................................................................2
3. Tujuan....................................................................................................2
B. Pokok Pembahasan............................................................................................3
            1. Pengertian Interaksionisme Simbolik........................................................3
            2. Konstruksi Teori Interaksionisme Simbolis...............................................4
            3. Riwayat hidup penemu Teori interaksionisme Simbolik...........................19
C. Analisis dan Diskusi..........................................................................................23
D. Kesimpulan.......................................................................................................25
Daftar Rujukan......................................................................................................26




A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami kelompok VI kelas IPS C Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Tarbiyah semester IV mampu menyelesaikan tugas makalah dengan mata kuliah Teori Sosiologi dengan judul “Teori Interaksionisme Simbolik” ini dengan baik dan tepat waktu. Taklupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Dr. H. Zulfi Mubaraq, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Teori Sosiologi.
Pentingnya membahas topik Teori Interaksionisme sosiologi adalah untuk memberikan pemahaman dan wawasan kepada kita tentang segala hal yang berkaitan dengan Teori Interaksionisme sosiologi.
Isi global dari makalah ini bahwasannya  teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri (self) dan dunia luarnya. Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Teori interaksionisme simbolik ini akan mengarahkan perhatian kita pada konsep mengenai “ interaksi “, baik interaksi dengan diri sendiri (self-interaction) maupun interaksi antar individu.Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.Read More >>



2.     Rumusan Masalah
Penulis ingin menngetahui  prinsip dasar  interaksionisme simbolik.  Adapun sub masalahnya adalah :
a)      Apa yang dimaksud dengan teori interaksionisme simbolik?
b)      Bagaimana konstruksi teori interaksionisme simbolik, serta siapa saja tokohnya?
c)      Bagaimana riwayat hidup penemu teori interaksionisme simbolik?

3.      Tujuan
Dengan teori interaksionisme simbolik penulis bertujuan :
a)      Ingin memahami teori interaksi simbolik
b)      Ingin memahami bagaimana kontruksi dalam teori interaksi simbolik serta mengetahui tokoh-tokoh teori interaksionisme simbolik
c)      Ingin mengetahui bagaimana riwayat hidup penemu teori interaksionisme simbolik
















B. POKOK PEMBAHASAN

1.      Pengertian

Secara etimologis interaksi berasal dari kata inter (antar/berbalas-balasan) dan aksi (tindakan).[1]
Secara etimologis, simbol berasal dari kata kerja Yunani sumballo (sumballein) (symbolos) yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.[2]
Interaksionisme secara terminologi adalah teori tentang hubungan antara “jiwa dan raga” yang mengatakan, bahwa jiwa dan raga adalah dua subtansi yang terpisah akan tetapi saling mempengaruhi satu sam lainnya.[3]
Simbolik secara terminologi adalah perlambangan. Gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau lambang.[4]
Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa­fah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfa­atkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.[5]

2. Kontruksi Teori Interaksionisme Simbolis
a.      Sifat-sifat
Teori interaksionisme simbolik berada pada analisis paling akhir dari tiga dasar pemikiran yang menyertainnya.
Ø  Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinnya.
Ø  Asal muasal arti atas benda-benda tersebut yang muncul dari interaksi sosial yang dimiliki seseorang.
Ø  Makna yang demikian ini diperlukan dan dimodifikasikan melalui proses interpretasi yang digunakan oleh manusia dalam berurusan dengan benda-benda lain yang ditemuinnya.

Hanya sedikit ahli  yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran  yang pertama. “arti” (mean) dianggap sudah semestinnya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting . “arti” dianggap sebagai hubungan netral antara faktor-faktor yang bertanggung jawab pada tinggkah laku manusia, sedangkan’tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri. Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.[6]
      Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksi simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi-implikasi yang cukup dalam, yang akan kita diskusikan pada bagian berikutnya.
     
Sedangkan pada tahapan pemikiran yang ketiga, teori interaksionisme simbolis memberikan pemahaman akan “arti” tersebut lebih jauh lagi. Penggunaan “arti” oleh pelaku terjadi melalui sebuah proses interpretasi. Proses ini sendiri terbentuk melalui dua tahapan pertama
·         Pelaku mengindikasikan dirinya sendiri akan benda-benda terhadap mana dia beraksi. Dia harus menunjukkan sendiri benda-benda yang memiliki makna itu.
·         Melalui perbaikan proses berkomunikasi dengan diri sendiri ini, maka interpretasi akan menjadi sebuah masalah, yakni bagaimana kita memperlakukan “arti” itu sendiri. Maka dengan demikian bisa di saksikan dengan jelas bahwa “arti” memainkan peran penting dalam aksi, melalui sebuah proses interaksi dengan diri sendiri.
Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan atas sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu pada masalh-masalah kelompok manusia atau masyarakat, interaksi sosial, obyek, manusia sebagai pelaku, tindakan manusia dan interkoneksi dari saluran-saluran tindakan. Secara bersama-sama, ide-ide mendasar ini mepresentasikan cara dimana teori interaksonalisme simbolik ini memandang masyarakat mereka memberikan perangkat kerja pada ilmu sekaligus menganalisisnya. Secara singkat kita akan mempelajari kerangka-kerangka itu[7]:
1.      Sifat masyarakat
Secara mendasar, masyarakat atau kelompok-kolompok manusia berada dalam tindakan dan harus dilihat dari segi tindakan pula. Prinsip utama dari teori interaksionisme simbolis adalah apapun yang berorientasi secara empiris atas masyarakat manusia, dan darii mana pun asalnya, haruslah memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat manusia tersebut terdiri dari orang-orang yang sedang bersama-sama dalam sebuah aksi sosial manusia.[8]
2.      Sifat interaksi social
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik (Bimo Walgito, 1990). Sementara Soekanto (1990) mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan antar orang per orang atau dengan kelompok manusia.[9]
Masyarakat merupakan bentukan dari interaksi antar individu. Teori interaksionisme melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah penyebab kspresi tingkah laku manusia.
3.      Ciri-ciri Obyek
Posisi teori interaksionisme simbolik adalah bahwa “dunia-dunia” yang ada untuk manusia dan kelompok-kelompok mereka adalah terdiri dari obyek-obyek sebagai hasil dari interksi simbolis. Sebuah obyek adalah sesuatu yang dapat diindikasikan atau di tunjukkan. Obyek yang sama mempunyai arti yang berbeda-beda untuk individu yang berbeda pula. Dari proses indikasi timbal balik, obyek-obyek umum bermunculan. Obyek-obyek yang memiliki arti yang sama bagi sekelompok manusia, akan dipandang dengan cara yang sama pula oleh mereka.



4.      Manusia sebagai makhluk bertindak
Manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, yaitu makanan, minuman dan lain-lain.[10]
Teori interaksionisme simbolis memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu pengertian yang mendalam, yakni suatu makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri dengan membuat indikasi sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi. Dalam pengertian ini, manusia sebagai makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, bukanlah makhluk yang hanya merespon saja, akan tetapi makhluk yang bertindak atau beraksi, sebuah makhluk yang harus mencetak sederetan aksi berdasarkan pada perhitungan, tidak hanya berfungsi melepaskan respon pada interaksi sosial yang ada.

5.      Sifat aksi manusia
Manusia individual adalah manusia yang mengartikan dirinya dalam dunia ini agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi manusia terdiri dari perhitungan berdasarkan berbagai hal yang ia perhatikan dan penampakan sejumlah tindakan berdasarkan pada bagaimana dia menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut, sesorang harus masuk ke dalam proses pengnalan dari pelakunya agar mengerti tindaka atau aksinya pandagan ini berlaku juga untuk aksi bersama atau kolektif dimana sejumlah individu ikut di perhitungkan. Aksi bersama adalah hasil dari sebuah proses interaksi yang interpretatif.[11]
6.      Pertalian aksi
Aksi bersama dari situasi-situasi baru, muncul dalam sebuah masyarakat yang “bermasalah”, dimana peraturan-peraturan yang ada tidak mencukupi. Proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Aksi bersama mengacu pada aksi-aksi yang merubah sangat banyak kehidupan kelompok manusia. aksi bersama tidak hanya menyajikan pertalian horisontal tetapi juga pertalian vertikal denan aksi bersama sebelumnya.[12]
b.      Orientasi Metodologis
Adalah benar bahwa seseorang akan dapat mendekati dunia sosial empiris dan menggali kedalamannya sejauh ia menghendaki. Proses itu membutuhkan riset yang cermat dan jujur, imajinatif dan kreatif, disiplin dan tekun, proses yang nalar dan kelenturan dalam pemikiran. Di samping itu, riset tersebut juga harus secara hati-hati mempertimbangkan penemuan orang lain. Disini di butuhkan adanya kesediaan terus menerus untuk menguji dan menyusun kembali pandangan-pandangan orang atas bidang keilmuan tertentu. Meski bukan berarti jika tidak mengikutai prosedur yang baku, lantas disebut sebagai penelitian yang lentur. Menurut Blumer teori interaksionisme simbolos telah di dekati dengan dua pendekatan utama, yakni eksplorasi dan inspeksi. Berangkat dari kedua pendekatan di atas, beberapa implikasi metodologis para ahli teori interaksionisme simbolis terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial dapat kita lihat pada empat hal:
a.       Individu, baik sendiri-sendiri maupun bersama, siap bertindak berdasarkan obyek-obyek yang ada dalam dunia mereka. Hal ini memiliki implikasi metodologis yang mendalam, sebab ini serta merta berarti bahwa jika ilmuan tersebut ingin memahami aksi seseorang maka harus melihat obyeknya sebagaimana ilmuan tersebut melihat mereka.
b.      Kolektifitas manusia haruslah dalam bentuk sebuah proses dimana mereka membuat tanda-tanda satu sama lain, dan saling mengartikan tanda-tanda tersebut. Ini berarti bahwa masing-masing tingkah laku harus dibangun dari sudut pandang tingkah laku orang lain dengan sipa mereka berinteraksi.
c.       Tindakan-tindakan sosial secara sendiri-sendiri atau bersama, dibangun melalui sebuah proses dimana para pelaku memperhatikan, mengartikan dan memperhitungkan atau menilai situasi yang menghadang mereka.[13] Uraian George Mead selanjutnya tinkah laku sosial dapat pula berasal dari status sosial ekonomi individu dimana status sosial ekonomi mengandung tuntutan tingkah laku sosial tertentu dan harus dipenuhi oleh individu yang bersangkutan. Misal tingkah laku kepala sekolah di masyarakat harus lebih baik dari tingkah laku anggota masyarakat umum atau kebanyakan.[14]
d.      Tindakan-tindakan pertalian komplek yang ada dalam organisasi atau institusi tertentu dimana bagia struktur berada dalam kondisi saling ketergantungan merupakan sesuatu yang terus-menerus bergerak, dan bukanlah masalah yang statis. Teori interaksionisme simbolis melihat organisasi yang bersifat sosial seperti itu merupaka bentuk tersendiri dari orang-orang yang dipersatukan dalam aksi-aksi mereka sendiri.

c.       Prinsip-prinsip metodologis

Selain orientasi teori diatas, interaksionisme simbolik juga meliputi seperangkat prinsip-prinsip metodologis. Keterangan berikut ini, sekaligus paparan polemik antara masing-masing aliran dalam teori interaksionisme simbolik, akan disarikan dari pandangan Ritzer (1992: 225-229)
a. Metode versi Blumer
Blumer memberikan perhatian yang besar atas kesulitan-kesulitan yang ada dalam mempelajari tindakan dan interaksi yang berlangsung di dunia nyata. Dia seringkali berkata tentang “karakter bandel” (obdurate character) dari dunia nyata. Dia mengatakan bahwa tampaknya para sosiolog harus terlibat dalam upaya yang konstan dan konsisten untuk mengembangkan cara-cara penyelidikannya. Blumer mengkritik keras apa yang dia anggap sebagai suatu kecenderungan menuju saintisme tanpa pemikiran dalam sosiologi (Shibutani, 1988). Namun ia tidak menolak menggunakan metode kuantitatif, meski dia dengan terus terang memandangnya jauh kurang bernilai dibandingkan dengan apa yang dihasilkan oleh metode tersebut. Tampaknya Blumer juga amat kritis terhadap kebanyakan konsep sosiologis yang berfungsi sebagai resep mengenai apa yang harus seorang sosiolog lihat dalam dunia nyata. Konsep-konsep semacam itu melakukan kejahatan yang besar atas realitas dunia. Dengan tidak mendukung konsep-konsep tradisional, blumer mendukung penggunaan “konsep-konsep kepekaan” yang secara sederhana menyarankan apa yang dicari, kemana mencarinya dan yang tidak terlalu berbuat semena-mena pada dunia nyata.[15]
b.      Perbedaan pandangan antara blumer dan kuhn
Perbedaan mendasar antara blumer dan kuhn bersifat metodologis  (Meltzer, Petras,  dan reynolds, 1975). Blumer, sebagaimana telah kita lihat, membela argumen bahwa metodologi yang khas untuk meneliti perilaku manusia, merupakan metode yang biasa digeneralisasi. Manford Kuhn (1964), sebaliknya, menekankan kesatuan metode ilmiah; semua medan ilmiah, termasuk sosiologi, harus bertujuan pada generalisasi dan pembentukan hukum. Meskipun Blumer dan Kuhn sepakat mengenai, setidaknya, yaitu “apa yang berlangsung di benak manusia” , mereka tak sepakat mengenai bagaimana hal itu harus diteliti. Blumer cenderung menggunakan intrspeksi simpatetik dengan tujuan untuk masuk ke dalam dunia cakrawala pelaku dan dan memandangnya sebagaimana pelaku melakukannya. Para sosiolog harus menggunakan intuisinnya untuk bisa mengambil sudut pandang para pelaku yang sedang mereka teliti, bahkan lebih jauh juga menggunakan kategori-kategori yang sama dengan yang dipakai oleh pelaku. Kuhn tertarik dengan fenomena empiris yang sama, namun dia mendorong para sosiolog untuk menolak teknik-teknik yang tak ilmiah dan sebagai gantinya menggunakan indikator-indikator perilaku yang tampak untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung dalam benak para pelaku.[16]
c.       Interpretasi Blumer atas Mead
Perdebatan antara para pendukung Blumer dan pendukung Kuhn terus berlanjut, namun orientasi Blumer masih merupakan pemikiran yang dominan dalam interaksionisme simbolik. Namun, persoalan yang akhir-akhir ini muncul ialah apakah Blumer itu benar mewarisi akar pemikiran Meadian sebagaimana yang dia klaim? (Lewis dan Smith, 1980; Warshay, 1986). Sehingga clark McPhail dan Cynthia Rexroat (1979) berarguman bahwa terdapat perbedaan yang menentukan antara orientasi Mead dan Blumer. Karena pengaruh behaviorisme, mead banyak berorientasi pada ilmu “yang keras”. Sebagaimana yang diungkapkan oleh McPhail dan Rexroat, “penekanan Mead akan observasi yang sistematis dan penyelidikan experimental cukup berbeda dengan metodologi naturalistik. Penelitian naturalistik bukanlah pelengkap ataupun perluasan perspektif metodologis Mead, juga kerangka kerja Blumer, tidak cocok dengan penelitian dan perkembangan ide-ide teoritisnya Mead”. Blumer (1980) merespon tuntutan yang dilakukan oleh McPhail dan Rexroat. Dia berargumen bahwa mereka telah “salah paham” atas pandangan-pandangannya mengenai realitas sosial dalam penelitian naturalistik, sebagaimana juga yang ada dalam pandangan Mead mengenai perilaku sosial dan metode saintifik. McPhail dan Rexroat menjawab bahwa Blumer dalam sanggahannya gagal menspesifikasi kriteriannya untuk menyanggah bahwa mereka telah menyalapahami dia dan bahwa dia telah gagal menggunakan evidensi sistematik untuk mendukung pemikirannya. Blumer dianggap sering gagal untuk mengutip tulisan-tulisan dalam karya Mead yang relevan buat argumen baik. McPhail dan Rexroat berargumen bahwa dalam banyak hal Blumer hanya menekankan bahwa interpretasinya atas Mead adalah yang benar. Pada akhirnya, kita mendapati bahwa Blumer menyatakan bahwa interpretasinya atas Mead adalah yang benar. Sementara disisi lain, McPhail dan Rexroat mengambil posisi yang bertentangan. Meskipun perdebatan ini merupakan perhatian utama saat ini, fakta historisnya ialah bahwa interpretasi atas pemikiran Mead-lah (bukan metodologis pemikiran Mead), yang menjadi orientasi dalam interaksionisme simbolik. Yang paling utama dalam perdebatan antara Blumer, McPhail dan Rexroat adalah persoalan ilmu “keras” dan “lunak”. Dalam pandangan Blumer, McPhail dan Rexroat tertarik dalam mengembangkan gambaran ilmu “keras”-nya teori Meadian.[17]

Interaksionalisme Simbolik: Prinsip-prinsip Dasar
Tidak mudah menggolongkan pemikiran ke dalam teori dalam artian umum karena seperti dikatakan Paul Rock, pemikiran ini “sengaja dibangun secara samar” dan merupakan “resistensi terhadap sistemasisasi” (1979:18-19). Ada beberapa perbedaan signifikan dalam interaksionalisme simbolik. Bwberapa tokoh interaksionalisme simbolik (Blumer, 1969a;Manis dan Meltzer, 1978; Rose, 1962; Snow, 2001) telah mencoba menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi:[18]
a.       Tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir.
b.      Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.
c.       Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.
d.      Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi.
e.       Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.
f.       Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu.
g.      Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.

Pendapat para pakar
A.    John Dewey
Dia merupakan pemikir yang terkenal dengan filsafat instrumentalis-nya. Filsafat instrumentalis merupakan pandangan yang melihat bahwa antara etika dan ilmu, teori dan praktik, berpikir dan bertindak, putusan faktual dan putusan evaluatif; adalah dua hal yang selalu menyatu dan tidak terpisahkan satu dengan lainya.
            Misalnya, tidak ada alasan bagi orang untuk mempertanyakan soal value-free science. Prinsip itu berlandaskan pada suatu teori pengenalan, yang tidak memahami pikiran manusia sebagai fotocopy atau pencerminan dunia luar, melainkan sebagai hasil dari kegiatan manusia itu sendiri. Manusia terlibat aktif dalam proses pengenalan. Dia memandang kesadarannya pada hal-hal yang ada dari luar. Dia mempermasalahkan hal-hal atau benda itu. Dia bertanya-tanya, apa arti mereka ; bagaimana memahami mereka; apa yang harus dibuat sehubungan dengan mereka sesungguhnya. Sebelum dia menentukan sikap dan perbuatannya terhadap mereka, dia melakukan sebagai pertimbangan dan menilainya, untuk kemudian memilih dari berbagai kemungkinan dalam bertindak. Dalam proses yang bersifat aktif ini, fikiran manusia tidak hanya berperan sebagai ‘’instrumen’’, melainkan juga menjadi bagian dari sikap manusia.
            Teori pengenalan ini menghasilkan suatu citra manusia yang dinamis, anti deterministik dan dengan optimisme. Manusia tidak secara pasif menerima begitu saja pengetahuannya dari luar, tapi sebaliknya secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan tindakannya. Lingkungan soial dan situasi tertentu di mana seseorang hidup tidak sampai pada tingkat yang mendeterminasi dirinya, tapi merupakan kondisi-kondisi terhadap bagaimana dia menentukan sikapnya. Gambaran manusia yang demikian ini mengendalikan kepercayaan akan kemampuan manusia, yang mendasari optimisme.[19]
B.     Chales horton Cooley
Dia merupakan sosiolog yang memandang bahwa hidup manusia secara sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Secara biologis, manusia tak berbeda satu sama lain, tetapi secara sosial tentu sangat berbeda. Perkembangan historis telah mengakibatkan bentuk-bentuk masyarakat yang berbeda-beda. Setiap masyarakat harus dipandang sebagai keseluruhan oerganis, dimana individu merupakan bagian yang tak terpisahkan. Dalam pandangan Cooley, individu ada berkat proses berlanjut hidup secara biologis dan sosial. Sebaliknya, masyarakat sangat terkantung dari individu, karena individu itulah yang menyumbangkan sesuatu pada kehidupan bersama. Kehidupan manusia merupakan satu kesatuan. Individu dan masyarakat bukanlah relitas-realitas yang terpisah, melainkan merupakan aspek-aspek distributif dan kolektif dari gejala yang sama (Laeyendecker,1991).[20] Dengan demikian, antara individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Keduannya ibarat dua sisi dari satu mata uang.
Cooley mengatakan bahwa masyarakat dan individu bukanlah dua relitas yang berdiri secara terpisah, melainkan dua sisi dari relitas yang satu dan sama. Realitas tunggal adalah hidup manusia. Hidup itu agar dipandang dari segi individualitasnya, atau dari segi sosialnya, dari segi keunikannya, sejauh pada setiap individu ada hal yang tidak ada dalam orang lain. Sedangkan pembedaan antara individualitas dan masyarakat (sosial) dilakukan oleh akar budi manusia itu sendiri (Veeger, 1993; 107).[21]
            Dalam Human Nature and the Social Order, menguraikan beberapa istilah dalam ilmu sosial yang kerap saling bertentangan.misalnya kemauan sendiri (free choice) dan peraturan masyarakat (Social Suggestion). Dari sini kita juga memahami bahwa istilah ini memberi kesan seakan-akan ada oposisi antara kebebasan dengan kewajiban; antara otonomi individu dengan hegemoni dstruktur-struktur masyarakat. Kita menggunakan peristilahan yang memberikan pengertian bahwa seakan-akan “di luar sana” ada sesuatu yang benar-benar bebas. Padahal dalam kenyataan tak ada sama sekali wilayah ehidupan manusia yang bisa dilepaskan dari masyakat yang di dalamnya penuh dengan peraturan-peraturan.
            Dalam hal ini Colley mengatakan bahwa perbedaan antara kemauan sendiri dengan kemauan masyarakat tidaklah bersifat sebagai suatu antitesis. Dalam hal ini kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa suatu perbuatan itu “dikehendaki oleh masyarakat” atau dikehendaki sendiri “. Sebaliknya, social suggestionand free choice adalah hubungan yang saling mengendalikan dan hanya merupakan saat-saat yang berlainan dalam proses adanya perbuatan manusia. Sehingga bisa dikatakan bahwa perbuatan itu tidak pernah berada dalam suatu kondisi creatio ex nihilio, akan tetapi selalu merupakan suatu penyusunan unsur-unsur sosial yang sudah ada sebelumnya.
            Sedangkan diantara istilah-istilah sosial yang dalam bahasa abstraknya aling men olak, namun dalam praktik nyatannya saling mengadaikan dan melengkapi adalah egoisme dan altruisme. Yang satu selalu mengandung yang lain, dan yang lain selalu mengandung yang satunya. Tak pernah ada egoisme yang mutlak dari dirinya sendiri, dan sama sekali tidak membutuhkan bantuan atau kehadiran orang lain. Mengapa demikian? Veeger mengatakan bahwa, pertama, kesadaran diri sebagai ego berasal dari kontrak dengan orang lain, dan kedua, apa saja yang ada pada diri individu telah diterima oleh orang lain, dan masih terus akan di bagi bersama demikian logika yang sama juga menimpa altruisme. Altruisme berasal dari kata alter yang berarti yang lain. Tidak ada altruisme yang mutlak dan menyeluruh.
            Dengan demikian, ucapan termasyhur dari Rene Descartes bahwa cogiti ergo sum (saya berpikir maka saya ada) adalah sesuatu yang salah.[22]
            Di sisi lain, dalam analisisnya mengenai pertumbuhan sosial individu, Cooley mengacu pada gagasan wiliam james tentang konsep “diri sosial”. Konsep “diri” seseorang dipahami sebagai bayangan yang menurut dirinya dimiliki oleh orang lain (tentang dirinya tersebut). Sehingga bisa dikatakan bahwa seseorang melihat dirinya melalui mata orang lain.
            Inilah yang kemudian oleh Cooley disebut sebagai looking-glaas self, yang didalamnya terdapat tiga unsur yang dapat dibedakan yakni:
1.      Bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat diri kita
2.      Bayangan mengenai pendapat yang dipunyai oleh orang lain mengenai diri kita
3.      Rasa-diri yang bisa bersifat positif maupun negatif.
Bagi Cooley, “diri” itu dikonstruksikan ke dalam kelompok primer (primary groups). Kelompok ini memiliki pengaruh yang sangat mendasar, seperti yang terdapat dalam sebuah keluarga ataupun lingkungan teman-teman dekat. Dalam kehidupan primary groups ini terdapat hiu bungan face to face dan ke-‘kita’-an yang kuat.

C.     George Herbert Mead
Dia merupakan pengaruh terpenting bagi Blumer, sosiolog selanjutnya dalam teori interaksionisme simbolik yang terkenal melalui bukunya, mind, self and society dan beberapa buku selanjutnya merupakan karya penting Mead. Mead memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupakan makhluk yang sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk lingkungannya (secara sosial maupun dirinya sendiri)  secara efektif, sebagaimana lingkungan mempengaruhi kondisi sensitivitas dan aktifitasnya. Mead menekankan bahwa individu itu bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuknya.
            Bagi Mead, tertib masyarakat akanterjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui simbol-simbol. Untuk menjelaskan sifat spesifik komunikasi ini, maka komunikasi antar manusia harus di bandingkan dengan komunikasi antar hewan.[23]
            Gambaran mead yang terkenal dalam hal ini adalah mengenai anjing yang berkelahi. Setiap isyarat seekor anjing merupakan stimulasi bagi munculnya respon anjing lainnya. Demikian pula sebaliknya, sehingga akan terjadi saling memberi dan menerima.  Anjing-anjing itu menyatu dalam “perbincangan isyarat”. Meski isyarat-isyarat itu sendiri bukan merupakan suatu yang berarti , sebab isyarat itu tak membawa makna. Anjing-anjing tiu bersiap dan mengantisipasi posisi yang lain secara spontan.






D.    Herbert Blumer
Seperti dikatakan di muka, bahwa Blumer lebih banyak dipengaruhi oleh Mead dalam berbagai gagasan psikologi sosial-nya  mengenai teori interaksionisme simbolik. Kendatipun demikian, seorang blumer tetap memiliki kekhasan-kekhasan dalam pemikirannya, dan terutama ia mampu membangun suatu teori dalam sosiologi yang berbeda dengan “gurunya”,  Mead. Pemikiran blumer pada akhirnya memiliki poengaruh yang cukup luas dalam berbagai riset sosiologi. Bahkan blumer pun berhasil mengembangkan teori ini sampai pada tingkat metode yang cukup rinci. Teori interaksi onisme simbolis yang dimaksud blumer bertumpu pada tiga premis utama:
·         Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
·         Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
·         Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung.[24]
Teori interaksionisme simbolis merujuk pada karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak semata-mata  beraksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor secara langsung maupun tidak, selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh karena itu, interaksi manusia di jembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menamukan makna tindakan orang lain. 
      Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi dimana dan kemana arah tindakannya. Sebenarnya, interpretasi harus tidak di anggap hanya sebagai penerapan makna-makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan. Blumer mengatakan bahwa individu bukan di kelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan memebentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah ia membentuk obyek-obyek itu.
      Dalam pada itu, maka individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan simbol-simbol.
      Dengan begitu, manusia merupakan aktor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan obyek-obyek yang di ketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagi self indication. Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Proses self indication ini erjadi dalam konteks sosial dimana individu mencoba “mengantisipasi” tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu.[25]


3.      Riwayat hidup penemu teori
Ø  Chales Horton Cooley
Cooley dilahirkan dikota Ann Arbror, di negara bagian michigan, A.S, di mana ia juga belajar di universitas of michigan dan lantas menjadi mahabiru selama 37 tahun disana. Karyanya yang terkenal adalah human nature and the social order (1902), social organization (1909) dan social process (1908). Ia, seperti dfalam penjelasan Veeger (1993:107), mencintai nilai-nilai masyarakat agraris yang masih diingat olehnya dari zaman sebelum industrialisasi.[26]


Ø  George Herbert Mead
Mead terlahir di south hadley, massachusetts, pada 27 februari 1863. Mead mendalami filsafat dan penerapannya pada psikologi sosial. Dia mendapakan gelar sarjana muda (bachelor’s degree) dari oberlin College (dimana ayahnya juga menjadi Professor) pada tahun 1883. Setelah beberapa tahun sebagai guru sekolah menengah, pengawasan perusahaan rel kereta api dan tutor privat, mead mulai studi kesarjanaannya di harvard tahun 1887. Setelah beberapa tahun belajar di harvard, juga di universitas Leipzig dan berlin, Mead mendapatkan tawaran mengajar di universitas michigan pada tahun 1891. Menarik untuk dicatat bahwa Mead tak pernah mendapatkan gelar sarjananya. Pada tahun 1894, atas undangan john dewey, dia pindah ke universitas chicagodan tetap disana selama sisa hidupnya selain aktivitas mengajar dan akademiknya, mead aktis secara politik, khususnya dalam gerakan revormasi di chicago(joas, 1985) george  herbert Mead meninggal dunia pada 26 april 1931.

Ø  John Dewey
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang  lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.
Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan melanjutkan karya-karya dokrinnya. Dengan pelbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika.[27]
Ø  Herbert Blumer
Blumer dilahirkan di St Louis, Missouri, Amerika Serikat. Dia adalah tokoh mashab Chicago. Dia mengembangkan departemen sosiologi dari universitas California sampai Berkeley. Blumer banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran George Herbert Mead.
Seperti halnya Mead, Blumer mewarisi tradisi psikologi dalam sosiologi, Blumer digolongkan tokoh interaksionisme simbolik modern. Tindakan-tindakan bersama yang mempu membentuk struktur atau lembaga itu disebabkan oleh interaksi simbolis, yang didalamnya mengandung makna, disampaikan lewat isyarat dan bahasa, berupa simbol-simbol yang berarti, memiliki makna yang disampaikan kepada pihak lain. Bagi Blumer manusia bertindak bukan hanya faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan internal (reduksionis psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry), penjelajahan (exploration), dan pemeriksaan (inspection). Blumer menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama lain, memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat.[28]


C. ANALISIS DAN DISKUSI
Analisis
v  John Dewey
Kami setuju dengan pendapat John Dewey yang menyatakan bahwa filsafat instrumentalis merupakan pandangan yang melihat bahwa antara etika dan ilmu, teori dan praktik, berpikir dan bertindak, putusan faktual dan putusan evaluatif; adalah dua hal yang selalu menyatu yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Karena menurut kami antara berpikir dan bertindak merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, contoh: seorang manusia ingin melakuan sesuatu pasti akan berpikir terlebih dahulu, dan dia bebas dalam menentukan apa yang akan dilakukan. Sebelum dia melakukan suatu tindakan, manusia itu sudah tahu apa akibat yang dialami. Semisal kita akan berangkat kuliah, jika kita berangkat kuliah dan mengikuti mata kuliah kita akan mendapat ilmu, dan menambah pengetahuan, begitu juga sebaliknya.
v  Chales Horton Cooley
Cooley berargumentasi bahwa, individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Keduanya ibarat dua sisi dari satu mata uang. Kami setuju dengan apa yang telah di ungkapkan oleh Cooley, bahwasannya individu dan masyarakat merupakan satu kesatuan. Karena masyarakat tidak akan terbentuk tanpa adanya individu. Sebab masyarakat itu adalah kumpulan dari individu-individu. Dan sebaliknya individu juga tidak akan bisa hidup tanpa adanya individu lain. Karena manusia itu adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri.

v  George Herbert Mead
Bagi Mead, tertib masyarakat akan terjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui simbol-simbol. Kami kurang setuju dengan pendapat Mead, yang menyatakan bahwa masyarakat akan tertib manakala ada komunikasi yang dipraktikkan melalui simbol-simbol. Alasan kami tidak setuju karena ketertiban dalam masyarakat tidak cukup dengan hanya ada komunikasi yang di praktikkan melalui simbol-simbol saja. Sebagai contoh dalam tata tertib lalu lintas, masih banyak masyarakat yang melanggar peraturan yang ada, yang diberikan melalui simbol-simbol.
v  Herbert Blumer
Blumer mengatakan bahwa manusia bertidak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi solial yang dilakukan dengan orang lain. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Kami setuju, karena setiap manusia bertindak itu berdasarkan makna-makna yang ada pada mereka. Dan mereka memperoleh makna tersebut ketika melakukan interaksi sosial.


           






D.    KESIMPULAN

Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antarindividu dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a ‘minding’process that interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer, 1980:194, dalam Sutaryo, 2005).












Daftar Rujukan

·         Soeprapto, Riyadi. 2001. Interaksionisme Simbolik perspektif sosiologi modern. Malang: Averroes Press
·         Goodman, Douglas. J. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
·         Agustin, Risa. kamus ilmiah populer. Surabaya: Serba Jaya
·         Hudaniah, Tri Dayakisni. 2009. psikologi sosia.,Malang: UMM Press
·         Gerungan, 2009. psikologi sosia. Bandung: Refika Aditama
·         Santoso, Slamet. 2010. teori-teori psikologi sosial. andung: Refika Aditama
·         http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1674/1/etnomusikologi-arifni.pdf
·         http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1674/1/etnomusikologi-arifni.pdf://nikolassutrisno.blogspot.com/2010/11/makalah-interaksionisme-simbolik.html


[1] http://www.ips.web.id/2011/07/pengertian-interaksi-.html
[2] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1674/1/etnomusikologi-arifni.pdf
[3] Risa Agustin, kamus ilmiah populer,(surabaya: serba jaya) hlm. 188
[4] Ibid.,hal.489
[5] http http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1674/1/etnomusikologi-arifni.pdf://nikolassutrisno.blogspot.com/2010/11/makalah-interaksionisme-simbolik.html

[6] Riyadi Soeprapto, interaksionisme simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm.140
[7] Ibid hlm.142
[8] Ibid hlm.145
[9] Tri Dayakisni Hudaniah, psikologi sosial,(Malang: UMM Press,2009) hlm.119
[10] Gerungan, psikologi sosial,(Bandung: Refika Aditama,2009)hal.26
[11] Riyadi Soeprapto, interaksionisme simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm.146
[12] Ibid hlm.146
[13] Ibid hlm.148
[14] Slamet Santoso, teori-teori psikologi sosial,(Bandung: Refika Aditama,2010) hlm.220
[15] Ibid hlm.150
[16] Ibid hlm.152
[17] Ibid hlm.155
[18] Goodman, Douglas. J.Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2007) hlm.289

[19] Riyadi Soeprapto, interaksionisme simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm 109
[20] Ibid hlm.111
[21] Ibid hlm.ibid hlm.112
[22] Ibid hlm 114
[23] Ibid hlm.116
[24] Ibid hlm.121
[25] Ibid hlm122
[26] Riyadi Soeprapto, interaksionisme simbolik (perspektif sosiologi modern),(Malang: Averroes Press,2001) hlm.115
[27]http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/pragmatisme-john-dewey/
[28] http://yoyoksiemo.blogspot.com/2007/06/herbert-blumer-1900-1987.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar