Rabu, 26 Oktober 2011

Takhrijul hadist

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah menuju zaman terang benderang.read more . . . .
Ucapan terima kasih kami sampaikan, kepada Ibu Fitratul Uyun, M.PdI sebagai dosen mata kuliah Studi Hadits, yang telah membantu dan memberi pengarahan kepada kami dalam belajar dan mengerjakan tugas. Sehinnga kami dari kelompok IV IPS-C dapat menyelesaikan makalah ini.
Menurut Mahmud al-Tahhan, pada mulanya ilmu Takhrij al-Hadis tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadis, karena pengetahuan mereka tentang sumber hadis ketika itu sangat luas dan baik. Hubungan mereka dengan sumber hadis juga kuat sekali, sehingga apabila mereka hendak membuktikan ke-sahih-an sebuah hadis, mereka dapat menjelaskan sumber hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis, yang metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab hadis tersebut mereka ketahui. Namun ketika para Ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu, dan  setelah berkembangnya karya-karya Ulama dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Sejarah, yang memuat hadis-hadis Nabi Saw yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka Ulama Hadis terdorong untuk melakukan Takhrij terhadap karya-karya tersebut.

2.      Rumusan masalah
a.       Apa Pengertian takhrij serta bagaimana sejarah takhrij Hadits?
b.      Apa tujuan dan faidah takhrij hadits?
c.       Bagaimana metode takhrij hadits?

3.      Tujuan Masalah
a.       Ingin mengetahui dan memahami Pengertian takhrij, sejarah takhrij Hadits
b.      Ingin mengetahui dan memahami tujuan dan faidah takhrij hadits
c.       Ingin mengetahui dan memahami metode takhrij hadits

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaanya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya, dan al-makhraj artinya tempat keluar, dan akhraja al-hadits wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.[1]

B.     Sejarah Takhrij Hadis
Para ulama salaf tidak pernah kesulitan untuk melacak hadis, karena mayoritas hadis sudah mereka hafal. Tidak sebatas matan dan Sanadnya namun juga sumber tempat hadis tersebut diriwayatkan dan juga kualitas tiap-tiap hadis dengan penguasaan yang begitu rinci.
Mereka tidak lagi membutuhkan buku untuk menemukan hadis, cukup dengan kembali pada hafalan-hafalan mereka yang begitu kuat. Sejalan dengan berlalunya waktu, hafalan generasi berikutnya sudah mulai memudar hingga dibutuhkan sumber-sumber tertulis untuk memudahkan pelcakan informasi yang dibutuhkan.
Dari sinilah kemudian dengan melihat kebutuhan yang begitu mendesak banyak tertulis buku-buku yang berkaitan dengan takhrij hadis untuk mempermudah menemukan hadis pada sumbernya dan dengan menjelaskan metodenya, serta menerangkan hukumnya dari yang shahih hingga yang dha’if.
Takhrij yang tertulis saat itu banyak terfokus pada takhrij hadis yang terdapat pada kitab-kitab tertentu, semisal:
o   Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab; karya muhammad bin Musa Al- Hazimi Asy-Syafi’i (W. 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqihmadzab Asy-Syafi’i karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
o   Takhrij Ahaadits Al-mukhtashar Al-kabir li Ibn al-hajib; karya muhammad bin ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (W.744 H).
o   Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-hidyah li Al-marghinani; karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’I (W. 762 H).
o   Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari; karya Al-Hafidh Az-Zaila’I juga. [Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi]
o   Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi’ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi’I; karya Umar bin ‘Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
o   Al-Mughni ‘an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa’ minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-‘Iraqi (wafat tahun 806 H).[2]
o   Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya Al-Hafidh Al-‘Iraqi juga.
o   At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li Ar-Rafi’I; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani (wafat 852 H).
o   Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya Al-Hafidh Ibnu Hajar juga.
o   Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya ‘Abdurrauf Ali Al-Manawi (wafat 1031 H).
Contoh :
Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Hadits ‘Ali bahwasannya Al-‘Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin ‘Adi, dari ‘Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-‘Adawi, dari ‘Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,”Imam Asy-Syafi’I berkata : ‘Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-‘Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?’. Al-Baihaqi berkata,”Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari ‘Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-‘Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun”. Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha’. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Umar,”Kami pernah mempercepat harta Al-‘Abbas pada awal tahun”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi’” [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163][3]
C.     Tujuan Takhrij dan Faidah Takhrij
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para Ulama pengkodifikasi hadis.
Dengan mengetahui hadis tersebut dari sumber aslinya, maka akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya.
Dengan demikian Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Tujuan dari takhrij hadis antar lain:
1.      Untuk mengetahui sumber hadis dari kitab-kitab pokok hadis.
2.      Mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar hadis yang dilacak merupakan hadis Nabi SAW.
3.      Mengetahui kondisi dan kualitas hadis dari sisi maqbul dan mardudnya.[4]
Ada beberapa faedah yang dapat kita ambil saat menggunakan Takhrij hadis, di antaranya:
1.      Mengetahui sumber-sumber hadis besrta perawi-parawinya
2.      Dapat menginventarisir sanad hadis sebanyak mungkin
3.      Mengetahui kondisi hadis yang sebenarnya, yaitu dengan melihat satu persatu hadis yang telah di takhrij.
4.      Mengetahui kondisi sanad secar keseluruhan dari sisi bersambung dan terputusnya sanad.
5.      Meningkatkan kualitas hadis dengan ditemukanya banyak sanad saat mentakhrij.
6.      Mengetahui nama perawi dengan gelar dan julukannya secar jelas. Hal ini dapat menghindarkan kita dari kesalahan saat menghukumi seorang perawi akibat kesamaan atau kesamaran nama.
7.      Mengetahui perbedaan lafad dan tambah kurang kalimat dalam tiap hadis yang diriwayatkan.
8.      Menjelaskan makna yang dirasa asing pada matan.
9.      Mengetahui lafad yang mudraj (ucapan perawi yang tersusup dalam teks hadis [matan]).
10.  Dan lain sebagainya.
D. Metode takhrij hadits
Dengan melihat proses mentakhrij yang digunakan oleh para muhaditsin dalam melacak hadis, ditemukan paling tidak terdapat lima metode takhrij yang dapat kita gunakan untuk mentakhrij hadits,[5] yaitu :
1.      Takhrij melalui awal kata (مطلع الحديث)
2.      Melalui salah satu kata dalam hadis (للظ من الفاظ الحديث)
3.      Melalui perawi pertama (الراوي الا على)
4.      Melalui tema pembahsan hadis
5.      Melalui sifat atau jenis hadis
Tiap metode di atas emmiliki cara-cara khusus untuk dapat menggunakannya. Secara garis besar, perlu diketahui bahwa para ulama telah mengumoulkan hadis dan menyusunnya dengan urutan yang berbeda-beda. Ada yang disusun berdasarkan urutan abjad, ada yang berdasarkan tema dan ada pula yang menyusun berdasarkan urutan nama perawi pertama.
Dalam pembahasan kali ini akan kita ketengahkan langkah-langkah yang ditempuhsaat seseorang akan mentakhrij hadis dengan metode-metode di atas, khususnya pada dua metode pertama yang sangat popular digunakan.[6]
Metode pertama, takhrij dengan menggunakan awal kata dari hadis
Takhrij dengan menggunakan metode ini disyaratkan harus tahu awal kata dari hadis yang akan dicari. Jika awal katanya tidak diketahui maka proses pencarian hadis dengan metode ini tidak mungkin bisa dilakukan.
Jika awal kat asudah diketahui, maka langkah selanjutnya adlah melihat huruf pertama dari kata tersebut, demikian pula dengan huruf kedua dan ke tiganya.
Misalny hadis yang awal katanya berbunyi : من غشنا فليس مناmaka kita cari hadis itu pada huruf (entri) “mim” dan “nun” (من) kemudian “ghoin”, “syin” dan seterusnya seperti saat mita mencari kosa kata dalam kamus bahasa.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihan metode ini di antaranya, kita dapat melacak hadis dengan cepat jika sudah diketahui awal katanya. Adapun kekurangannya, jika terjadi perubahan sedikit saja pada awal kata kita tidak akan mungkin bisa menemukan hadis yang kita cari. Misalnya kita akan mencari hadis yang berbunyi اذا اتاكم tapi yang kita ingat لو جاءكم Maka hadis tersebut tidak akan ditemukan.
Kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij hadis dengan metode ini antara lain :al-jami’ al-kabir dan al-Jami’ ash-Shoghi minal-Ahaadits al-Basyir an-Nadzir, karya Imam Jalaluddin ash-Suyuthi.
Metode kedua, takhrij dengna cara mengetahui kata yang jarang digunakan dalam teks-teks hadis (ghoir{asing})
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan memilih koda kata mana yang akan kit agunakan sebagai kunci atau alat bantu untuk mencari hadis. Bisa dicari melalui kosa kata yang berbentuk isim, maupun fi’il dengna berbagai pecahan tshrifnya. Adapun pencarian melalui huruf tidak dilakukan. Proses pencariannyaseperti saat kita akan mencari ayat Al-Qur’an sengan menggunakan kitab Fathu ar Rahman.
Dalam pencarian hadis dengan metode ini diupayakan agar menggunakan kosa kata yang jarang dipakai dalamhadis agar pencarian dapat dilakukan dengan cepat dan focus. Misalnya hadis yang berbunyi :ان الملاءكة لتضع اجنحتهالطا لب العلم ر ضى بما يصنعagar pelacakan dapat dilakukan lebih cepat maka kitapilih kata اجنتها Dalam arti ” جنح “ . karena kosa kata ini relatif lebih sedikit digunakan ketimbang kosa kata lain seperti “الملاءكة” Atau “العلم”.[7]
Kelebihan dan kekurangan metode ini
kelebihannya, 1) Dengan sebatas mengetahui salah satu kosa kata dalam hadis sudah dapat kita gunakan untuk mentakhrij. 2) Terdapat informasi rinci tentang nama kitab, bab, dan nomor hadis.
Kekurangannya, 1) proses pencarian akan terasa sulit jika kita tidak dapat menemukan akar kata dari lafadz yang akan kita cari. 2) Hadis yang ditampilkan terkadang tidak sesuai secara persis dengan yang cari, jika terdapat pengurangan dan penambahan kata dalam matan.
Kitab yang digunakan mentakhrij dengan metode ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaadli al-Hadis an-Nabawi, berisi hadis-hadis dari Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab,yaitu: kutub as-Sittah, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad imam Ahmad, dan Musnad ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh tim yang terdiri dari enam orang orientalis, dan diketuai oleh Prof. Dr. Vensink (W. 1939), Seorang guru bahasa Arab di universitas Leiden Belanda dan kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
Metode ketiga, takhrij dengan mengetahui perawi hadits pertama
Metode ini digunakan jika kita mengetahui nama perawi pertama yang meriwayatkan hadits tersebut.perawi pertama bisa dari kalangan sahabat, jika haditsnya muttashil dan musnad, bisa juga tabi’in jika haditsnya mursal. Namun jika nama perawi haditsnya tidak diketahui maka metode ini tidak dapat digunakan untuk mentakhrij.
Misalnya hadits riwayat Imam Ahmad:
حدثنا يونس بن محمد, ثنا عبد الواحد بن زياد, ثنا محمد بن اسحاق عن داود بن الحصين عن واقد بن عبدالرحمن بنمعاذ عن جابر قال: قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم اذا احدكم المراة فان استطاع انينظر منها ما يدعوه الى نكا حها فلليفعل.
Jika ditemukan hadits dengan bentuk seperti ini, maka kita dapat melacak keberadaannya melalui perawi pertama; yang dalam hadits di atas adalah Jabir. Pencariannya melalui kitab-kitab takrij yang disusun dengan rawi, seperti kitab-kitab musnad.[8]
Saat kita membuka kitab musnad, misalnya kitab musnad Imam Ahmad bin Hambal akan kita dapatkan kitab tersebut tersusun hadits-haditsnya sesuai dengan perawi-perawinya. Jadi tiap boerawi dibawahnya terdapat hadits-hadits yang diriwayatkannya. Tinggal kita mencari hadits yang dimaksud yang berada di bawah nam sahabat tersebut.
Kitab yang digunakan untuk mentakrij dengan metode ini adalah kitab: musanid (kitab yang disusun berdasarkan perawi pertama) seperti musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab al-Athraf: kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai susunan huruf abjad. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk mengambil hadits secara lengkap.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, lebih tepat mendapatkan hadits yang dicari, karena langsung focus pada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang dimaksud. Adapun kekurangannya, tidak mungkin menggunakan cara ini jika tidak diketahui perawinya.susunan semacam ini, terkadang membutuhkan kesabaran saat mencari hadits yang diriwayatkan banyak hadits, karena harus mencari satu persatu dari sekian banyak hadits riwayat perawi yang dimaksud.
Metode keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits
Takhrij dengan metode ini dituntut kecerdasan dan penetahuan tentang fiqih hadits. Seorang pentakhrij diharuskan mampu memetakan hadits yang dicari sesuai dengan tema yang berkaitan dengan hadits yang dicari.[9]
Jika telah dikatahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banya dibantu dengan menggunakan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Prod. Dr. Arinjan Vensinkyang juga penyusun dari kitab Mu’jam al-Mufahras. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu: al-kutub at-tas’ah (sebagaimana yang digunakan dalam al-mu’jam al-Muhfaras) ditambah dengan kitab Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Musnad Zaid bin Ali, Sirah Ibnu Hisyam, Maghazi Al-Waqidi, dan Thabaqat Ibnu Sa’ad.
Dalam menyusun kitab ini, penyusun (Vensink) menghabiskan waktunya selama 10 tahun. Kitab ini kemudianditerjemahkan ke bahasa Arab dan diedarkan oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi yang menghabiskan waktu untuk itu selam 4 tahun.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, 1) Metode ini tidak menuntut keharusan awal kata dari hadits sebagaimana pada metode pertama, tidak juga pengertian tentang tashrif kosakata sebagaimana pada metode kedua, tidak pula pengetahuan pada perawi pertama sebagaimana pada metode ketiga. Cukup dengan mengetahui makna yang terkandung dalam hadits sudah dapat menggunakan metode ini. 2) Metode ini mengasah kecerdasan siswa atau peneliti saat berusaha makna yang terkandung dalam hadits yang hendak dicari. Dengan menggunakan cara ini berulang-ulang akan memberikan ketajaman dalam memahami fiqih hadits. 3) Metode ini juga akan memberikan informasi tentang hadits yang dicari dan hadits-hadits lain yang sesuai dengan topiknya, yang hal ini akan semakin membangkitkan motifasi pentakhrij.
Kekurangannya, 1) jika makna yang terkandung tidak ditemukan, maka metode ini tidak dapat dilakukan. 2) Terkadang makna hadits yang difahami penyusun berbeda berbeda dengan yang difahami oleh pentakhrij sehingga hadits tidak dapat ditemukan.[10]
Metode kelima, takhrij dengan mengetahui sifat dan jenis hadits
Saat akan mentakhrij sebuah hadits, dapat kita gunakan salah satu dari metode-metode takhrij di atas. Adapun metode kelima ini memberikan nuansa baru. Jika dalam hadits yang akan kita cari Nampak sifat yang jelas akan jenis hadits tersebut, maka sifat itu tidak dapat digunakan sebagai patokan dalam mencari hadits.
Para ulama telah mengklarifikasi hadits-hadits Nabi dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan jenisnya. Bagi peneliti tidak akan kesulitan tatkala hendak melacak hadits jika sudah bsudah ditemukan jenis tersebut. Misalnya jika sudah diketahui bahwa hadits yang akan kita cari masuk katagori hadis muttawatir, maka kita tinggal malacak di kitab kumpulan hadis-hadis mutawatir. Jika kategori hadis maudu’, maka dicari kitab kumpulan hadis-hadis maudu’ dan jika hadis qudsi, maka dilacak di kitab kumpulan hadis qudsi, dan sedemikian seterusnya.
Kitab-kitab yang dapat digunakan dalam metode ini cukup banyak sesuai dengan sifatnya masing-masing, antara lain: al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-mutawatirah (berisi kumpulan hadis-hadis muawatir) karya imam ash-Suyuthi, al-Ithafat as­-Saniyah fi al-Ahadits al-Qudsiyyah (kumpulan hadis-hadis qudsi) disusun oleh Majlis al-A’la bidang al-Qur’an dan Hadis, Tanzih ash-Syari’ah al-Marfu’ah an al-Akhbar ash-Syani’ah al-Maudhu’ah (kumpulan hadis maudu’) karya ibn ‘Iraq, dan lain sebagainya.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Kelebihannya, metode ini cukup mudah dan simple, karena kitab yang digunakan mentakhrij tidak banyak hingga melacaknya tidak terlalu sulit. Adapun kekurangannya, lebih dikarenakan minimnya kitab yang dimaksudkan hingga keleluasaan pelacakannya terbatasi.
Demikianlah beberapa metode yang dapat ditempuh dalam mentakhrij hadis dengan spesifikasinya masing-masing. Satu hal yang patut diingat, bahwa materi takhrij hadis tidak sebatas memberikan pengetahuan tentang pengetahuan tentang metode-metode takhrij, namun juga memberikan keahlian (maharah) dalam mentakhrij.
Agar materi takhrij ini memberikan banyak guna dan manfaat, maka hendaknya saat membaca perlu menghadirkan kitab-kitab yang dimaksud agar dapat langsung menggunakannya. Praktik mentakhrij juga akan mengenalkan peneliti pada banyak kitab hadis di perpustakaan.[11]
Memang, pelacakan hadis pada zaman kita sekarang sudah dapat dilakukan dengan menggunakan program CD yang jauh lebih simple, namun mengenal kitab-kitab turats karya para ulama Islam tidak dapat dilakukan melalui CD. Ada sisi positif dan negatifnya dengan hadirnya program-proramnya CD yang banyak tersebar di banyak Negara, serta banyak pula kitab turats  yang telah dibentuk dalam program CD.
BAB III
KESIMPULAN
1.      Pada hakikatnya takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran dan pencarian hadis pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni;
  • Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan.
  • Syarat untuk penelitian sanad.
  • Menghindari kesalahan redaksi.
  • Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadis daif kepada hadis sahih atau sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar